Rabu, 17 Agustus 2011

SKRIPSI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PENERAPAN PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP
ANAK
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
ARIES SURYA
B10006139
JAMBI
2010
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PERSETUJUAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : ARIES SURYA
Nomor Induk Mahasiswa : B10006139
Judul Skripsi : Penerapan Pidana pada Pelaku Tindak Pidana
Persetubuhan yang dilakukan terhadap Anak
Telah Disetujui oleh Pembimbing pada Tanggal Seperti Tertera Di Bawah ini
Untuk Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Fakultas Hukum
Universitas Jambi
Jambi, Juli 2010
Menyetujui,
Pembimbing Skripsi
ELLY SUDARTI, S.H., M.H.
NIP. 19650523 199103 2 004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PENGESAHAN SKRIPSI
Nama : ARIES SURYA
Nomor Induk Mahasiswa : B10006139
Judul Skripsi : Penerapan Pidana pada Pelaku Tindak Pidana
Persetubuhan yang dilakukan terhadap Anak
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Fakultas Hukum
Universitas Jambi, Pada tanggal 24 Juli 2010
Dan dinyatakan LULUS
TIM PENGUJI
NAMA JABATAN TANDA TANGAN
Aprillani Arsyad, SH., MH Ketua Tim Penguji …………………….
Yulia Monita, SH., MH Sekretaris …………………….
Dr. Sahuri Lasmadi, SH., MH Penguji Utama …………………….
Elly Sudarti, SH., MH Anggota …………………….
Andi Najemi, SH., MH Anggota ...…………………..
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jambi
TAUFIK YAHYA, SH., MH
NIP. 19650107 199003 1 002
KATA PENGANTAR
Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
bantuan dan pertolongan-Nya jualah maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang diberi judul PENERAPAN PIDANA PADA PELAKU TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP ANAK.
Tujuan dari pada penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan
akhir akademik guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jambi.
Sebelumnya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang
tidak penulis sengaja dan penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
pengetahuan yang ada pada penulis. Untuk itu penulis dengan lapang dada
menerima setiap kritikan maupun saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan skripsi ini.
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai
pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima
kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak Taufik Yahya, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jambi, yang telah sudi mengeluarkan surat izin penelitian guna penulisan
skripsi ini.
2. Ibu Sri Rahayu, S.H., M.H., dan Ibu Andi Najemi, S.H., M.H., selaku Ketua
dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi
yang telah menyetujui judul dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Elly Sudarti, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi yang telah banyak
membimbing dan mengarahkan penulis hingga terselesaikannya penulisan
skripsi ini.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dilingkungan Fakultas Hukum Universitas
Jambi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan didikan bagi penulis
selama masa perkuliahan.
5. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas jambi yang telah
memberikan kemudahan di bidang administrasi selama penulis mengikuti
pendidikan.
6. Bapak Zamzir, SH, selaku Panitera Sekretaris di Pengadilan Negeri Muara
Bulian, yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Muara Bulian untuk memperoleh
data yang diperlukan untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada ayahanda Sofyan dan ibunda Rosnawati serta kakakku Fitri Jayanti
dan Adikku tersayang Ayu Trianawati dan Ade Mulyadi yang telah berkorban
baik moril maupun spiritual mulai dari penulis kuliah sampai menyelesaikan
skripsi ini.
8. Semua keluarga yang telah banyak membantu khususnya pamanku Fauzan,
S.E., M.Si, yang selalu memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis
dalam mengikuti perkuliahan sampai penulisan skripsi ini.
9. Kepada Elza Huzaifah Nirmaliana yang selalu memberikan motivasi selama
masa kuliah hingga rampungnya penulisan skripsi ini, serta sahabatku
Cherlida Riyandani, Riana Rizky Amelia, Beatrice Chelly Setiayu, Oktir Nebi
dan semua teman-teman Fakultas Hukum khususnya angkatan 2006 yang
telah membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
10. Kepada seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jambi,
UKM Tenis UNJA yang telah memberikan semangat bagi Penulis untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam melakukan penelitian ini mulai sejak awal sampai
selesainya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi
kepentingan penegakan hukum.
Jambi, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
TANDA PERSETUJUAN…………………………………………........... i
TANDA PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………. 1
B. Perumusan Masalah…………………………………… 12
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………... 12
D. Kerangka Konseptual…………………………………. 13
E. Landasan Teoretis…………………………………….. 14
F. Metode Penelitian…………………………………….. 20
G. Sistematika Penulisan…………………………………. 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan…………………… 24
B. Anak sebagai Pelaku dan Anak sebagai Korban……… 26
C. Pedoman, Sistem dan Tujuan Pemidanaan…………… 28
D. Hal-Hal yang Meringankan dan Memberatkan Pidana. 38
E. Tindak Pidana Persetubuhan dan Unsur-Unsurnya…… 44
BAB III PEMBAHASAN
A. Posisi Kasus Perkara Tindak Pidana Persetubuhan
terhadap Anak………………………………………… 46
B. Analisis Penerapan Ketentuan Pidana terhadap Pelaku
Persetubuhan terhadap Anak…………………………. 48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………….…………………................. 69
B. Saran………………………………………................... 70
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata
kehidupan sosial karena mengganggu ketenangan individu atau kelompok ataupun
dalam tingkatan tertentu dapat menciptakan suasana kehidupan nasional atau
suatu Negara tidak stabil. Setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya, hal ini seiring dengan semakin majunya perkembangan yang
beraneka ragam dalam kebutuhan hidup manusia serta perkembangan diri manusia
Indonesia. Seperti yang diungkapkan J.E.Sahepati : “bahwa kejahatan erat
hubungannya dan bahkan menjadi sebahagian hasil dari budaya sendiri, ini berarti
semakin tinggi tingkat budayanya semakin modern suatu bangsa, maka semakin
modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya.”1
Perkembangan itu di ikuti dengan semakin meningkatnya angka
kriminalitas terhadap jenis-jenis kejahatan yang menimbulkan korban tidak hanya
sedikit. Korban-korban dari kejahatan tersebut dapat berasal dari berbagai tingkat
usia, status sosial ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Berdasarkan tingkatan
usianya maka secara garis besar korban kejahatan dapat digolongkan sebagai
anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua.
 
1S.T.R.Sianturi, Penanggulangan Kejahatan, Liberti, Bandung, 1992, hal. 12
Berdasarkan pada status sosial ekonominya korban kejahatan dapat di bagi
menjadi masyarakat dengan status ekonomi bawah, menengah dan atas.
Sementara berdasarkan jenis kelamin maka korban kejahatan dapat digolongkan
menjadi pria dan wanita.
Didalam diri manusia selalu ada will to live (kemauan untuk hidup) yang
menjadi sumber bagi potensi-potensi kreatifitas. Namun seiring itu, pada diri
manusia juga selalu ada will to power (kemauan untuk berkuasa) yang menjadi
sumber berbagai tindakan destruktif manusia, dikatakan deskruktif karena will to
power ini tidak pernah mengenal kata akhir, tidak pernah mengenal batas, tidak
pernah mengenal kata cukup, konflik-konflik manusia yang mengakibatkan
banyak malapetaka adalah konflik-konflik antara will to power dengan will to
power lainnya. Hal itu terjadi karena adanya desakan kepentingan, keserakahan,
nafsu dan ambisi yang sulit dikendalikan atau diarahkan menjadi potensi yang
mendukung terimplementasikannya kebaikan bagi sesama manusia, bangsa dan
Negara. Manusia kadang-kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan
berbuat deviatif (menyimpang) dan jahat karena kepentingan ekonomi, tuntutan
biologis dan harga diri. Padahal kejahatan yang diperbuatnya merupakan bentuk
pengingkaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan.
Anak sebagai korban kejahatan tentunya memerlukan perhatian yang
serius dari semua pihak, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Salah
satu jenis kejahatan yang sering dialami oleh anak adalah kekerasan seksual
seperti tindak pidana persetubuhan baik yang dilakukan oleh pelaku dewasa
terhadap anak maupun pelaku anak terhadap korbannya.
Dalam masyarakat, tindak pidana persetubuhan terhadap anak sering
terjadi karena masyarakat sendiri yang merasakan dampak dari kejahatan itu.
Orang tua yang merasa anaknya menjadi korban persetubuhan, menjadi sangat
trauma apalagi terhadap anak yang menjadi korban kejahatan ini terganggu mental
dan psikisnya. Anak mudah sekali menjadi korban kejahatan karena anak
dianggap masih kecil dan belum mengerti serta belum bisa berbuat apa-apa
maupun memberontak saat menjadi korban kejahatan yang sangat memudahkan
pelaku untuk menjadikan mereka korban suatu kejahatan, disaat sekarang ini
kebanyakan anak menjadi korban kejahatan sungguh hal yang sangat
memprihatinkan, karena seorang anak seharusnya dilindungi dari tindakan
kejahatan ataupun kekerasan baik terhadap mental maupun terhadap fisiknya,
namun dalam kenyataan apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan yang terjadi
di masyarakat.
Pada dasarnya tindak pidana persetubuhan adalah bentuk kejahatan
primitif yang kita semua tahu terdapat pada masyarakat manapun juga. Gejala
sosial kejahatan tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus dipikirkan
secara serius karena akibat yang ditimbulkan tidak hanya menimpa anak yang
menjadi korbannya, namun juga mengakibatkan ketakutan pada masyarakat (fear
of society). Anggota masyarakat yang punya anak gadis misalnya dilanda
kecemasan dan ketakutan akibat kejahatan yang mengancamnya sewaktu-waktu
yang tidak diduga dari mana munculnya.
Kejahatan yang menyangkut kesusilaan khususnya kejahatan persetubuhan
yang dilakukan terhadap anak di bawah umur telah diatur dalam KUHP yang
antara lain terdapat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP :“Barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus di duga bahwa umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk di kawin,
di ancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”.
Selain itu, untuk memberikan jaminan yang lebih dalam perlindungan
anak, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, hal ini berdasarkan asas Lex Spesialis Derogat Lex
Generalis yang menyatakan bahwa peraturan yang khusus mengesampingkan
peraturan yang umum.
Kejahatan persetubuhan di atur lebih khusus dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :
Pasal 81 :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp.300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000.00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Menurut penjelasan Pasal 287 KUHP, kejahatan persetubuhan merupakan
delik aduan absolut, maksudnya ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya
dapat di tuntut apabila ada pengaduan dari si korban, jika tidak ada pengaduan
dari si korban maka si pelaku bebas dari tuntutan.
Ada beberapa permasalahan hukum yang berhasil di invetarisir Beachman
dan Pateerboster yang diikuti oleh Romli Atmasasmita :
a. Pelaku tidak di tangkap dan di tahan karena tidak ada pengaduan dari korban.
b. Banyak pelaku kekerasan seksual (perkosaan,pencabulan) yang di tangkap
atau di tahan tidak di tuntut atau di tuntut untuk adanya pelanggaran ringan
karena yang sering terjadi justru korban kemudian berbalik menjadi terdakwa
dan di adili karena bukti yang di anggap kurang kuat sehingga pelaku bebas
dan si korban balik di tuntut karena di anggap melakukan pencemaran nama
baik.
c. Banyak pelaku kekerasan seksual justru sebaliknya adalah kenalan korban
misalnya pacarnya, tetangga, sehingga tidak di lihat sebagai suatu perkosaan.2
Ada beberapa faktor pendorong terjadinya tindak pidana persetubuhan
antara lain :
1. Adanya kelainan seksual (pedofilia) gairah seksual seorang laki-laki kepada
anak-anak.
2. Faktor ekonomi : tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dan sempitnya
lapangan pekerjaan yang tersisa sehingga banyak terjadi krisis pengangguran.
3. Tingkat pendidikan yang rendah berakibat kurangnya pengetahuan,
khususnya tentang hukum, sehingga pelaku dalam melakukan perbuatannya
hanya didasarkan nafsu.
4. Kemerosotan moral
5. Kemajuan teknologi
6. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku relatif ringan sehingga tidak
membuat jera pelaku.
 
2 Suparman Marzuki, Otot dan Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum VII, Yogyakarta,
1995, hal. 44
Di lihat dari faktor diatas dan dalam kenyataan hidup sehari-hari jumlah
korban persetubuhan terhadap anak di bawah umur semakin meningkat, hal ini
terjadi karena anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, belum bisa menjaga diri sendiri dan masih mudah terpengaruh bujuk rayu.
Tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu tindak
pidana persetubuhan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang
dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan
pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang di tuntut oleh pihak korban.
Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para penegak
hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku.
Meskipun sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa,
namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepentingan pelaku, sedangkan
kepentingan masyarakat seperti pihak-pihak yang menjadi korban tindak pidana
persetubuhan kurang mendapatkan perhatian nyata. Hal ini dapat terbaca melalui
pasal-pasal yang terumus dalam KUHP sendiri, yang secara normatif kurang
memberikan perlindungan terhadap kepentingan atau hak-hak asasi korban.
Maraknya kasus kejahatan persetubuhan terhadap anak, merupakan
cerminan kegagalan penegakan hukum dalam menempatkan hukum sebagai
kekuatan supremasi. Hukum tidak dijadikan sebagai kekuatan yang mampu
memprevensi dan menindak para pelanggar dan penjahat, termasuk para pelaku
persetubuhan terhadap anak. Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum
melalui penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku belum dapat mengobati
penderitaanya, apalagi jika sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil
atau tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah
yang disebut-sebut dapat menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah
(menjadi korban) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan.
Penjatuhan hukuman yang cukup ringan terhadap pelaku kejahatan
persetubuhan terhadap anak itu di nilai dapat mendorong oknum-oknum sosial
untuk melakukan praktik-praktik peniruan perbuatan tersebut. Mereka di beri
angin segar oleh kalangan penegak hukum untuk berprilaku menyimpang melalui
cermin lemahnya penegakan hukum. Belum ada keberanian moral-profetis
dikalangan penegak hukum, khususnya hakim untuk menjatuhkan vonis secara
maksimal.
Tuntutan pemberatan hukuman terhadap pelaku persetubuhan terhadap
anak-anak di bawah umur wajib mendapatkan prioritas, baik secara yuridis
maupun sosiologis (kompensasi ganti rugi, rehabilitasi dan perlakuan sosial
terhadap harkat anak).
Ditinjau dari aspek yuridis, eksistensi KUHP terdapat kelemahan
mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal
guna menanggulangi pelaku kejahatan persetubuhan. KUHP yang dijadikan acuan
untuk menjaring pelaku kejahatan persetubuhan mengandung kekurangan secara
substansial dalam hal melindungi korban kejahatan, salah satunya adalah ancaman
pidananya yang di nilai relatif ringan terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak
sehingga di anggap kurang memenuhi rasa keadilan bagi korbannya.
Oleh karena itu, dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan
Anak yang merupakan lex spesialis dari ketentuan yang mengatur tentang
kesusilaan yang terdapat dalam KUHP sebagai lex generalis di nilai lebih
memberikan jaminan kepastian hukum bagi anak korban persetubuhan, yang akan
mengatur lebih luas tentang perlindungannya.
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, ternyata dalam praktek peradilannya masih ada hakim
yang menerapkan ketentuan KUHP terhadap kasus tersebut, sehingga asas (lex
specialis derogat lex generalis) tidak secara maksimal diterapkan yang
mengakibatkan kurang terpenuhinya rasa keadilan dalam penegakan hukum.
Mengingat tindak pidana persetubuhan terhadap anak menimbulkan
kerugian yang cukup besar baik dalam bentuk fisik maupun kejiwaan. Oleh sebab
itu, hakim diharapkan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku hendaklah
sebanding dengan perbuatannya. Adapun ancaman pidana sebagaimana termaktub
dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP setinggi-tingginya adalah 9 tahun penjara ,
sedangkan menurut Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
persetubuhan terhadap anak dengan melakukan kekerasan maupun dengan
ancaman kekerasan di ancam dengan pidana penjara 15 tahun dan paling singkat 3
tahun, denda paling banyak Rp. 300 Juta dan paling sedikit Rp. 60 Juta. Dalam
Pasal 81 ayat (2), persetubuhan yang dilakukan dengan tipu muslihat dan
rangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, juga di ancam dengan pidana yang sama.
Dari perkara tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang telah
diputuskan oleh hakim, berikut uraian antara putusan yang dijatuhkan berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Anak dengan putusan yang dijatuhkan berdasarkan
Pasal 287 ayat (1) KUHP :
1. Kasus Pertama (Perkara No.398/Pid.B/2006/PN.JBI)
Dalam kasus pertama ini terdakwa bernama Supardi bin Kasiman umur 67
tahun, alamat lorong merpati, Rt.06, No.30, Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar
Kota Jambi, Jenis kelamin Laki-laki, Pekerjaan Sopir. Terdakwa didakwa secara
kumulatif melakukan tindak pidana, yaitu : persetubuhan sebagaimana diatur dan
diancam pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 dan Pasal 287 ayat (1) KUHP.
Setelah dilakukannya pemeriksaan sidang pengadilan, dan berdasarkan
uraian pertimbangan hukum yang dihubungkan dengan fakta persidangan,
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002, yaitu setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Dan si terdakwa akhirnya dijatuhkan pidana
penjara selama 12 tahun.
2. Kasus Kedua (Perkara No.114/Pid.B/2006/PN.MBL)
Dalam kasus kedua ini terdakwa bernama Kasim bin Sutarso, Umur 33
tahun, Alamat Rt.07 Kampung IX Dusun Meranti, Desa Pejaten, Kecamatan
Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jenis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Tani.
Dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa dalam kasus ini bersifat Subsidairitas
melakukan tindak pidana, yaitu :
 melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
(Primair)
 melanggar Pasal 287 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
(Subsidair)
 melanggar Pasal 290 ke-2 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Setelah dilakukannya pemeriksaan sidang pengadilan, dan berdasarkan
uraian pertimbangan hukum yang dihubungkan dengan fakta persidangan
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan primair penuntut umum, dan oleh karena itu
membebaskan terdakwa dari dakwaan primair tersebut. Majelis hakim
berpendapat bahwa terdakwa melakukan persetubuhan dengan tidak ada
melakukan kekerasan terhadap korban sehingga dengan demikian majelis hakim
berpendapat bahwa oleh karena salah satu unsur Pasal 81 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak terpenuhi maka
majelis hakim membebaskan terdakwa dari dakwaan primair.
Oleh karena dakwaan penuntut umum bersifat Subsidairitas, maka terdakwa
didakwakan melanggar Pasal 287 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan
majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1)
KUHP yaitu bersetubuh dengan anak di bawah umur dan terdakwa akhirnya
dijatuhkan pidana penjara selama 5 tahun.
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak
yang dijatuhkan, cenderung berbeda-beda atas masing-masing pelaku, baik yang
berpedoman berdasarkan pasal tentang kesusilaan yang diatur didalam KUHP
maupun yang berpedoman berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Sehingga penjatuhan pidananya pun juga berbeda
pula, yang mengakibatkan selain penjatuhan pidana yang terlampau ringan di
bawah dakwaan jaksa penuntut umum, tentunya hal tersebut sangat ironis sekali
mengingat kerugian yang dialami korban dan keluarganya baik secara materil
maupun immateril. Selain itu apakah dengan sanksi yang begitu ringan tersebut
dapat menyadarkan atau membuat si pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap
anak ini menjadi insyaf dan jera untuk mengulangi perbuatannya tersebut,
sehingga si korban bisa mendapatkan keadilan seperti yang diharapkan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak ke dalam skripsi
yang berjudul : “Penerapan Pidana pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan
yang Dilakukan terhadap Anak”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, tentang penerapan pidana terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, maka penulis
merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penjatuhan pidana pada pelaku tindak pidana persetubuhan
terhadap anak ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk penjatuhan pidana pada pelaku tindak pidana
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian tentang penerapan ketentuan pidana dalam
kasus persetubuhan terhadap anak adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana penjatuhan pidana pada pelaku tindak
pidana persetubuhan terhadap anak.
b. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk penjatuhan pidana pada
pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak.
2. Manfaat
Nilai suatu penulisan ditentukan oleh kegunaan atau manfaat yang
dapat diperoleh.
a. Secara teoritis, penulisan ini dimaksudkan untuk pengembangan ilmu
hukum khususnya masalah penerapan ketentuan pidana kasus
persetubuhan terhadap anak.
b. Secara praktis, penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan
rekomendasi terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus
persetubuhan terhadap anak.
D. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang mempengaruhi hubungan
antara konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti. Dan
untuk memudahkan pembaca memahami skripsi ini, maka diberikan batasanbatasan
sebagai berikut :
1. Penerapan pidana
Pengertian penerapan pidana menurut R. Soesilo adalah suatu tindakan tidak
enak (sengsara) yang dijatuhkan hakim dengan vonis pada orang yang telah
melanggar undang-undang hukum pidana.3
2. Anak
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
 
3 R.Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
Edisi Ketiga, Politia, Bogor, 1979, hal. 53
3. Persetubuhan
Berdasarkan penjelasan Pasal 284 KUHP, Persentuhan sebelah dalam dari
kemaluan si laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat
menimbulkan kehamilan yang dilakukan secara bersama-sama.
Berdasarkan batasan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa yang di
maksud dengan penerapan ketentuan pidana dalam kasus persetubuhan terhadap
anak yaitu berupa penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku persetubuhan
terhadap anak dengan memberlakukan ketentuan yang berbeda.
E. Landasan Teoretis
Menurut pendapat Soedarto bahwa penerapan pidana adalah penjatuhan
hukuman yang diberikan hakim karena seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana yang berupa sanksi pidana.
Menurut Van Hammel mengenai pengertian pidana yang di kutip oleh
Lamintang :
Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana
atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum
umum bagi seseorang pelanggar yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan
oleh Negara.4
Selain sanksi berupa pidana, dalam hukum pidana digunakan sanksi
berupa tindakan. Mengenai perbedaan kedua sanksi tersebut menurut Packer,
sebagaimana di kutib oleh Muladi dan Barda Nawawi, dalam hal pidana
 
4 L.A.F Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hal. 47
memperlakukan orang karena mereka telah melakukan perbuatan salah, dengan
tujuan untuk pencegahan dan pengenaan derita. Sedangkan dalam hal tindakan,
perlakuan terhadap seseorang itu dengan anggapan seseorang itu akan lebih
menjadi baik.5
Dalam hukum pidana ada tiga golongan utama teori untuk penjatuhan
pidana yang dilakukan oleh hakim yaitu :
a. Teori absolut atau teori pembalasan
b. Teori relatif atau teori tujuan
c. Teori gabungan6
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Dalam teori absolut disebutkan bahwa kejahatan itu sendiri terletak
pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari tujuan yang hendak dicapai, ada
pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan, jadi
menurut teori ini pidana dijatuhkan karena telah melakukan suatu tindak pidana.
Menurut Johanes Andenas sebagaimana di kutib oleh Muladi mengatakan
bahwa tujuan utama dari pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan
tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh-pengaruhnya adalah sekunder. Terlepas
dari tujuan pemidanaan yang menurut pembalasan pidana juga mencerminkan
keadilan, jadi disamping pidana sebagai alat untuk mencapai tujuan pembalasan
 
5 Muladi dan Barda Nawawi. Op cit, hal. 4
6Suparmi, Ninik, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, hal. 15
tersebut, pidana juga menuntut keadilan, sehingga dengan pidana itu dimaksudkan
agar masyarakat dapat merasakan keadilan, karena yang salah harus di hukum.
Sementara Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolut ini
terbagi atas pembalasan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif
adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan obyektif adalah
pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Menurut teori relatif, suatu kejahatan tidak mutlak untuk di ikuti dengan
suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus
mempersoalkan pula manfaat pidana bagi masyarakat maupun bagi terpidana itu
sendiri. Memidana harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan
pidana saja, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh
karena pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana
untuk melindungi masyarakat, maka teori ini di sebut teori perlindungan
masyarakat.
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan ini, biasa dibedakan antara
Prevensi Special dan Prevensi General atau sering dipergunakan istilah “Special
Deterrence” atau “General Deterrence”.
Dengan prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana terhadap
terpidana, jadi pencegahan kejahatan itu ingin di capai oleh pidana dengan
mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Ini
berarti pidana bertujuan agar terpidana berubah menjadi orang yang baik dan
berguna bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa di kenal dengan reformation
atau rehabilitas theory.
Dengan prevensi general, dimaksudkan pengaruh pidana terhadap
masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin di capai
dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk
tidak melakukan tindak pidana. Sehubungan dengan tujuan pemidanaan, pidana
mempunyai pengaruh terhadap orang yang dikenai pidana dan juga terhadap
orang lain pada umumnya yang terdapat pengaruh langsung dari pemidanaan
adalah orang yang dikenai pidana.
c. Teori Gabungan
Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang
belum dapat memberikan hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada
tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan
secara terpadu. Sehubungan dengan masalah pidana dalam mencapai tujuannya,
maka harus dirumuskan terlebih dahulu perencanaan strategi dibidang
pemidanaan untuk menetapkan pidana dan pemidanaan.
Menurut aliran ini pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan
prinsip-prinsip tujuan dan prinsip-prinsip pembalasan dalam suatu kesatuan, oleh
karena itu teori demikian dinamakan teori gabungan.7
 
7 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1984, hal. 11-12 
Perbedaan yang pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dengan
teori tujuan dikemukakan secara terperinci oleh Karl.O.Cristiansen, sebagai
berikut:
a. Tujuan Pidana adalah Pencegahan (prevention)
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yakni kesejahteraan masyarakat.
Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culva) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana. Pada teori pembalasan :
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung saranasarana
untuk tujuan lain, misalnya untuk kesejahteraan masyarakat.
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.
Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si
pelanggar.
Pada teori tujuan :
a. Pidana harus diterapkan berdasarkan tujuan sebagai alat untuk penegakan
hukum, pencegahan kejahatan.
b. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung
unsur-unsur pencelaan maupun unsur pembalasan, tidak dapat diterima
apabila membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.8
Adapun teori penerapan hukum pidana dapat di lihat dari tiga aliran :
1. Aliran Legisme, pokok ajarannya meliputi :
a. Hukum adalah undang-undang
b. Bahwa undang-undang itulah satu-satunya yang penting, tidak ada yang
lain
c. Hakim terikat dengan undang-undang yang sudah ada
d. Yurisprudensi tidak penting
e. Cara menerapkan undang-undang melalui silogisme hukum
2. Aliran Freire Rechtsbewegung, pokok ajarannya meliputi :
a. Bahwa hakim tidak terikat pada undang-undang
b. Undang-undang tidak begitu penting, yang penting adalah yurisprudensi
3. Aliran Rechtsvinding
Pokok ajarannya bahwa hakim dalam menerapkan hukum terikat pada
undang-undang tetapi tidak mengesampingkan yurisprudensi, di mana hakim
dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan yang terikat.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu
menggambarkan bagaimana penerapan pidana yang dilakukan terhadap
 
 Ibid, hal. 17
pelaku tindak pidana yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana
persetubuhan dengan mengkaji putusan Nomor 398/Pid.B/2006/PN.JBI
dan Nomor 114/Pid.B/2006/PN.MBLN.
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis melakukan pendekatan kasus yang
mengkaji putusan hakim Nomor 398/Pid.B/2006/PN.JBI dan Nomor
114/Pid.B/2006/PN.MBLN yang merupakan kaedah hukum individual
dalam perkara persetubuhan terhadap anak.
3. Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan Bahan Hukum dilakukan dengan cara meneliti data
sekunder meliputi :
a. Bahan Hukum Primer
Diperoleh dengan mempelajari bahan hukum yaitu dalam hal ini
KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
b. Bahan Hukum Sekunder
Diperoleh berdasarkan buku-buku atau literatur yang berkaitan
dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier
Diperoleh dengan mempelajari kamus, yaitu kamus Bahasa
Indonesia dan kamus hukum.
4. Teknik Pengumpulan Bahan
Teknik pengumpulan Bahan Hukum dilakukan melalui studi
dokumen. Dokumen dimaksud adalah putusan hakim Nomor
398/Pid.B/2006/PN.JBI dan Nomor 114/Pid.B/2006/PN.MBLN.
5. Analisis Bahan Hukum
Bahan Hukum yang diperoleh dari penelitian dikumpulkan dan
dilakukan analisis secara kualitatif yakni hanya di ambil bahan hukum
yang bersifat khusus dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas
sehingga menghasilkan suatu uraian yang bersifat deskriptif-kualitatif.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca memperoleh gambaran secara jelas
dan rinci atas seluruh materi skripsi ini secara sistematis dan untuk
memudahkan dalam menghubungkan serta memahami antara Bab yang
satu dengan Bab yang lainnya maka disusunlah sistematika penulisan
hukum ini di bagi ke dalam beberapa Bab yang terdiri dari beberapa Sub
Bab dengan sistematika sebagai berikut :
 BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab ini disajikan latar belakang permasalahan, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kerangka konseptual, landasan
teoritis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pembahasan
Bab I ini dimaksudkan sebagai pengantar atau pedoman dasar untuk
pembahasan Bab-bab berikutnya.
 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab ini disajikan tentang pengertian pidana dan pemidanaan,
anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban, pedoman, sistem dan
tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, serta
tindak pidana persetubuhan dan unsur-unsurnya. Pada Bab ini
disajikan landasan teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan
yang ada pada Bab pertama.
 BAB III PEMBAHASAN
Pada Bab ini merupakan pembahasan yang khusus mengkaji
permasalahan-permasalahan yang terdapat pada Bab pertama dengan
menggunakan teori-teori yang ada pada Bab kedua guna mendapatkan
atau memperoleh kesimpulan pada Bab keempat.
 BAB IV PENUTUP
Pada Bab ini merupakan Bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
dan saran dari penulis. Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan
yang ada di dalam Bab-bab terdahulu.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan
sesuai yang diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau
pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Dalam keadaan yang
demikian ini, hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban
dalam masyarakat.
Istilah hukuman berasal dari straff yang merupakan istilah yang sering
digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan
istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubahubah
karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.
Oleh karena itu pidana merupakan istilah yang lebih khusus,maka perlu
ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri
atau sifat-sifatnya yang khas. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas,
berikut ini dikemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, yaitu sebagai
berikut :
Menurut Soedarto, Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-
Undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.9
 
9Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung , Alumni, 1981, hal. 109-110
Menurut Prof. Roeslan Saleh, Pidana adalah reaksi atas delik dan ini
berujung nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik
itu.10
Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh orang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut Undang-Undang.11
Ketiga unsur tersebut pada umumnya terlihat dari defenisi di atas, kecuali
Alf Ross, “concept of punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu :
1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang
bersangkutan. (punishment is aimed at inflicting suffering upon the person
upon whom it is imposed).
2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si
pelaku. (the punishment is an expression of disapproval of the action for
which It is imposed).12
 
10 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung ,Alumni,
1992, hal. 2
11
Ibid. hal. 4
12Ibid.
Pemidanaan (pemberian atau penjatuhan pidana) merupakan konsekuensi
logis dari suatu tindak pidana atau perbuatan pidana, yaitu berupa pidana.
Menurut Lamintang, “Pidana itu merupakan suatu reaksi atas dilakukannya suatu
delik yang telah dinyatakan sebagai terbukti, berupa suatu kesengajaan untuk
memberikan suatu penderitaan kepada seorang pelaku, karena ia telah melakukan
tindak pidana tersebut”.13
Menurut Van Hammel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif
adalah :
Suatu penderitaan logis atau bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seseorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tesebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara”. 14
Dari beberapa pendapat tentang pengertian pidana tersebut, pada
hakikatnya adalah pengenaan derita atau nestapa sebagai wujud pencelaan
sehubungan terjadinya tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku.
B. Anak sebagai Pelaku dan Anak sebagai Korban
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
 
13
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 10.
14Ibid. hal. 47.
dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan
seimbang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, dalam Pasal 1 ayat (1), yang di maksud dengan Anak adalah orang yang
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Yang di maksud dengan anak nakal adalah :
1. Anak yang melakukan tindak pidana
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda yang dijatuhkan
kepada anak sebagai pelaku tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 ayat (1) yang di maksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Di dalam Undang-Undang ini, lebih mengatur tentang
anak sebagai korban kejahatan dan diharapkan dapat melindungi dan
mempertahankan hak-hak anak, karena anak sebagai korban kejahatan sering kali
terabaikan hak-haknya yang seharusnya dilindungi, di mana anak merupakan
amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi.
C. Pedoman, Sistem dan Tujuan Pemidanaan
1. Pedoman Pemidanaan
Hukum positif sekarang tidak memberikan pedoman pemidanaan dengan
lengkap. Kebebasan hakim dalam menetapkan pidana tidak boleh sedemikian
rupa, sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan yang mencolok.
Maka pedoman pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) sangat diperlukan, sebab ini akan mengurangi ketidaksamaan
tersebut, meskipun tidak menghapusnya sama sekali.
Muladi berpendapat bahwa : “dalam setiap sistem peradilan pidana, maka
pidana dan pemidanaan sebenarnya merupakan jantungnya, dan demikian
menempati posisi sentral”15. Hal ini disebabkan karena keputusan berupa
penjatuhan pidana akan mengandung konsekuensi yang luas, baik yang
menyangkut pelaku tindak pidana, si korban maupun masyarakat.
Pedoman pemidanaan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan
berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini akan memudahkan
hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Apa yang tercantum dalam
suatu pasal sebenarnya hanya merupakan suatu “check-list” sebelum hakim
menjatuhkan pembuat dan juga hal-hal yang di luar pembuat. Apabila butirbutir
tersebut dalam daftar itu diperhatikan, maka diharapkan pidana
 
15 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapaan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi,
CV Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 110-111.
dijatuhkan dapat lebih proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat
maupun oleh terpidana sendiri.
Penjumlahan butir-butir pedoman pemidanaan tersebut tidak bersifat
limitatif. Hakim dapat saja menambahkan pertimbangannya pada hal-hal lain
selain apa yang tecantum dalam pedoman tersebut, namun apa yang
disebutkan dalam pedoman tersebut paling sedikit harus dipertimbangkan.
Bambang Poernomo menyebutkan, untuk dapat dipidananya seseorang
terlebih dahulu ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu :
1. Perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana
2. Perbuatan yang dilakukannya itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai
sendi-sendi kesalahan.16
VOS memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga landasan khusus,
yaitu :
a. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya yaitu
dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
c. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus pertanggung jawaban bagi si
pembuat dan atas perbuatannya.17
Sebenarnya masalah pemberian pidana itu adalah masalah kebebasan,
sampai sejauh manakah undang-undang memberikan kebebasan dalam
 
16
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1993,
hal. 134.
17 Ibid, hal. 136.
menentukan jenis pidana. Dalam aliran modern, kebebasan itu jauh lebih baik
dari pada aliran klasik.
Di dalam RKUHP, telah di atur dalam Pasal 52 RKUHP tahun 2004,
bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan :
a. Kesalahan pembuat pidana
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana
c. Sikap batin pembuat tindak pidana
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
e. Cara melakukan tindak pidana
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. Riwayat hidup dan kehidupan sosial ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
j. Pemanfaatan korban dan atau keluarganya
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Pasal ini membuat pedoman pemidanaan yang akan sangat membantu
hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Ini
akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan, apa yang
tercantum dalam pasal itu sebenarnya merupakan daftar yang harus di teliti
lebih dahulu. Daftar tersebut memuat hal-hal yang menyangkut pembuat dan
juga hal-hal di luar pembuat. Apabila butir-butir dalam daftar diperhatikan,
maka diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat lebih proposional dan dapat
dipahami baik oleh masyarakat maupun oleh terpidana sendiri.
Selain Pasal 52 RKUHP, dalam Pasal 68 RKUHP terdapat pedoman
penerapan pidana penjara, dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan 55,
pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaankeadaan
sebagai berikut :
a. Terdakwa di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh)
tahun
b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana
c. Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar
d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian terhadap korban
e. Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan
menimbulkan kerugian yang besar
f. Tindak pidana terjadi karena hasutan yang kuat dari orang lain
g. Korban tindak pidana mendorong tindak pidana tersebut
h. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak
mungkin terulang lagi
i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan
melakukan tindak pidana lagi
j. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa
atau keluarganya
k. Pembinaan yang bersifat non-institusional diperkirakan cukup berhasil
untuk diri terdakwa
l. Penjatuhan pidana lebih dari ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya
tindak pidana yang dilakukan terdakwa
m. Tindak pidana dilakukan terdakwa dilingkungan sendiri
n. Terjadi karena kealpaan
2. Sistem Pemidanaan
a. Menurut KUHP
Bagian terpenting dari KUHP adalah stelsel pidananya, karena
KUHP tanpa stelsel pidana tidak akan ada artinya. Pidana merupakan
bagian mutlak dari hukum pidana, karena pada dasarnya hukum pidana
memuat dua hal, yakni syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan
pidana dan pidana itu sendiri.
Menurut Pasal 10 KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok
dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam Pasal 10 tersebut di buat
menurut beratnya pidana, di mana yang terberat di sebut terlebih dahulu.
Jenis hukuman dalam Pasal 10 KUHP tersebut adalah :
a. Pidana pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Dalam penerapannya, perumusan pada tiap-tiap Pasal KUHP
digunakan sistem alternatif, dalam arti bila dalam suatu tindak pidana,
hakim hanya boleh memilih salah satu saja.
Hal ini berbeda dengan sistem kumulatif, di mana hakim dapat
memilih lebih dari satu jenis pidana. Bahkan di antara Pasal-Pasal KUHP
terdapat Pasal-Pasal yang hanya mengancam secara tunggal, dalam arti
terhadap pelaku tindak pidana hakim harus menjatuhkan jenis yang
diancamkan tersebut. Di sini hakim sama sekali tidak memiliki kebebasan
memilih jenis pidana, tetapi hanya dapat memilih mengenai berat ringan
atau cara pelaksanaan pidana dalam batas-batas yang ditentukan Undang-
Undang.
Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan
(imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat dalam rumusan
tindak pidana, di mana dalam rumusan kejahatan maupun pelanggaran
hanya ada dua kemungkinan, pertama, diancamkan satu jenis pidana
pokok saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang
lain). Kedua, tindak pidana yang diancamkan dengan dua atau lebih jenis
pidana pokok, di mana sifatnya adalah imperatif (artinya hakim harus
memilih salah satu saja) hal ini sesuai dengan prinsip dasar pidana pokok
yaitu pidana pokok tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi.
Menurut pertimbangan pembentuk Undang-Undang, sebagaimana
dijelaskan di dalam Memorie van Toeliching (MvT) WvS Belanda bahwa
menjatuhkan dua jenis pidana pokok bersamaan tidak dapat dibenarkan,
karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan
yang berbeda.18
Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak
pidana umum (dalam arti yang bersumber dalam KUHP), bagi tindak
pidana khusus (di luar KUHP) prinsip dasar ini ternyata banyak
disimpangkan oleh Undang-Undang.
Dalam pelaksanaan pidana denda berdasarkan Pasal 30 dan Pasal
31 KUHP, jika pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda dan denda
tidak di bayar, maka di ganti dengan hukuman kurungan. Tapi, bagi si
terhukum dapat seketika menjalani kurungan sebagai pengganti denda jika
ia merasa bahwa tidak akan mampu membayar dendanya. Dalam putusan
hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana kurungan
pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya.
Keistimewaan dari pidana denda adalah dalam hal pelaksanaannya
tidak menutup kemungkinan dilakukan atau di bayar oleh orang lain, jadi
dalam hal ini pelaksanaan pidana denda dapat melanggar prinsip dasar dari
pemidanaan sebagai akibat yang harus di pikul atau di derita oleh pelaku
 
18 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hal. 28
sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas perbuatan (tindak
pidana) yang dilakukannya.
b. Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Khusus
Adalah suatu kenyataan bahwa perkembangan kriminalitas dalam
masyarakat telah mendorong lahirnya Undang-Undang tindak pidana
khusus, yaitu Undang-Undang hukum pidana yang ada di luar KUHP.
Kedudukan Undang-Undang hukum pidana khusus dalam sistem
hukum pidana adalah merupakan pelengkap dari hukum pidana yang
dikodifikasikan dalam KUHP.
Di dalam KUHP, dinyatakan tentang kemungkinan adanya Undang-
Undang pidana di luar KUHP itu, dapat disimpulkan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 103 KUHP.
Walaupun menurut Pasal 103 KUHP bahwa ketentuan yang terdapat
dalam Bab pertama di buku I KUHP berlaku juga bagi perundangundangan
di luar KUHP seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dan
lain-lain. Namun ada ketentuan-ketentuan yang menyimpang antara lain
tentang sistem pemidanaan dalam perundang-undangan khusus tersebut.
Ini sesuai dengan adagium “Lex Specialis Derogat Lex Generalis” artinya
peraturan khusus mengesampingkan peraturan umum. Hal ini berlaku juga
dalam sistem pemidanaan, artinya pidana pokok dan pidana tambahan
yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP tersebut berlaku juga bagi delikdelik
dalam perundang-undangan khusus tersebut yang berada di luar
KUHP, kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan itu.
Beberapa hal penyimpangan tersebut diantaranya yaitu pidana
penjara dan pidana denda dijatuhkan bersama-sama dan ini bersifat
imperatif dan di dalam KUHP hal ini tidak dimungkinkan.
c. Tujuan Pemidanaan
Pada dasarnya pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Pemidanaan merupakan suatu proses, sebelum proses ini berjalan
peranan hakim sangat penting, karena mengkonkritkan sanksi pidana yang
terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa
dalam kasus tertentu. Pengaturan ini memuat tujuan ganda yang hendak di
capai melalui pemidanaan.
Mengingat akan pentingnya pemidanaan tersebut, maka dalam
RKUHP Tahun 2004 Pasal 51, pemidanaan bertujuan :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normanorma
hukum demi pengayoman masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan perlindungan
masyarakat. Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja untuk
merehabilitasi, akan tetapi juga meresosialisasi terpidana dan
mengintegrasikan yang bersangkutan ke dalam masyarakat. Tujuan ketiga
sejalan dengan pandangan hukum adat, dalam arti reaksi adat. Jadi, pidana
yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau
pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Tujuan yang ke empat bersifat spiritual sebagaimana dicerminkan dalam
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
Sedangkan pernyataan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Merupakan suatu nestapa, ketentuan ini akan berpengaruh terhadap
pelaksanaan pidana yang secara nyata akan dikenakan kepada terpidana.
Menurut Lamintang, tujuan pemidanaan ada tiga yaitu :
1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
2. Untuk membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat menjadi tidak mampu lagi
mengulangi kejahatan lainnya, yaitu kejahatan yang tidak dapat
diperbaiki lagi.
Dari rumusan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pemidanaan itu adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana,
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna serta mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat.
D. Hal-Hal yang Meringankan dan Memberatkan Pidana
Hakim sebelum menjatuhkan pidana terlebih dahulu mempertimbangkan halhal
yang memberatkan dan meringankan pidana.
1. Hal – hal yang Memberatkan Pemidanaan
Sebagaimana yang tercantum dalam memorie Van Toelicthings dari WvS
Belanda, alasan-alasan yang memberatkan pemidanaan adalah :
a. Keadaan jabatan (ambtelijkhoedani gheid)
b. Pengulangan perbuatan (recidive)
c. Kebersamaan/pembarengan (samenloop)19
a. Keadaan Jabatan (Ambtelijkhoedani gheid)
Di dalam ketentuan Pasal 52 KUHP dirumuskan sebagai berikut :
Jikalau seorang Pegawai Negeri melanggar kewajibannya yang istimewa
dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang dapat di pidana, atau
pada waktu melakukan perbuatan yang dapat di pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang di peroleh karena jabatannya
maka pidananya boleh di tambah dengan sepertiganya.
Pegawai negeri ialah barang siapa oleh kekuasaan umum untuk
menjabat pekerjaan umum melakukan sebagian atas pemerintah atau alat
perlengkapannya. Dalam hal ini unsur-unsur pegawai negeri ialah :
 
19Djoko Prakoso, Memorie Van Toelchting 1986, Masalah Pemberian Pidana dalam
Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 12.
1) Pengangkatan oleh kekuasaan umum yang berwenang
2) Memegang suatu jabatan
3) Melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat perlengkapan
pemerintahan.
b. Pengulangan Perbuatan (Recidive)
Pengulangan perbuatan atau recidive terjadi bilamana orang yang
sama mewujudkan lagi satu tindak pidana, yang diantaranya oleh putusan
pengadilan negeri yang telah memidana pembuat tindak pidana.
Pengulangan tindak pidana ialah merupakan alasan pemberatan pidana,
tetapi tidak untuk semua tindak pidana melainkan hanya untuk tindak
pidana yang disebutkan pada pasal tertentu saja dalam KUHP yaitu Pasal
486, 487 dan 489 yang menurut beberapa macam kejahatan yang apabila
dalam waktu tertentu dilakukan pengulangan lagi, dapat dikenakan pidana
diperberat sampai sepertiganya dari pidana yang diancamkan untuk
masing-masing tindak pidana itu.
Syarat-syarat adanya recidive menurut Memorie Van Toelichung
dari WvS Belanda adalah :
1. Yang bersalah harus pernah menjalani seluruh atau sebagian hukuman
penjara yang dijatuhkan terhadap atau ia dibebaskan sama sekali dari
hukuman karena pemberian grasi atau kemerdekaan bersyarat.
2. Tenggang recidive adalah 5 tahun. Apabila pada waktu melakukan
kejahatan baru telah lewat waktu lima tahun atau lebih sejak telah
menjalani hukuman pidana atau dijatuhkan terhadapnya untuk
seluruhnya atau sebagiannya atau sejak ia dibebaskan dari pidana itu,
sudah lewat lima tahun atau lebih, maka tidak ada alasan untuk
recidive.
c. Perbarengan (samenloop)
Samenloop adalah salah satu perbuatan yang dilakukan seseorang
dan perbuatan itu melanggar beberapa perbuatan pidana atau seseorang itu
melakukan perbuatan pidana yang berkelanjutan atau belum dijatuhi oleh
hakim.
Adapun bentuk-bentuk samenloop seperti :
1. Eendadse samenloop atau concursus idealis, yaitu seseorang
melakukan perbuatan pidana dan perbuatannya itu memuat beberapa
perbuatan pidana.
2. Meerdadse samenloop atau concursus realis, yaitu apabila seseorang
melakukan perbuatan dan perbuatan ini merupakan pelanggaran
terhadap peraturan hukum pidana yang bersifat kejahatan dan
kejahatan itu belum ada satupun yang diadili sekaligus.
3. Vorgezette handeling, yaitu apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan dan antara perbuatan tersebut ada hubungan yang
sedemikian rupa, sehingga di pandang sebagai suatu perbuatan yang
berkelanjutan.
Syarat-syarat perbuatan berkelanjutan menurut Memorie Van
Toeliching dari WvS Belanda adalah :
1. Harus ada kesatuan kehendak peristiwa yang disebabkan oleh putusan
kehendak yang sama
2. Peristiwa-peristiwa harus sama atau serupa
3. Bahwa jangka waktu yang ada antara bagian tidak boleh terlalu lama
terhadap perbuatan samenloop diberikan pidana dengan sistem
sebagai berikut :
a. Sistem absorsi, yaitu sistem yang memberikan hukuman yang
terberat di antara delik yang dilakukannya.
b. Sistem absorsi yang dipertajam, yaitu sistem yang memberikan
hukuman yang paling berat yang dijalankan di tambah sepertiga
c. Sistem kumulasi murni, yaitu sistem yang memberikan tiap-tiap
hukuman terhadap semua perbuatan pidana dijatuhkan terhadap
delik-delik yang dijatuhkan
d. Sistem kumulasi yang diperlunak, yaitu sistem yang memberikan
hukuman yang jumlah dari semua hukuman tidak boleh melebihi
hukuman yang berat di tambah sepertiga.
2. Hal – Hal yang Meringankan Pemidanaan
Hal-hal yang mengurangi pemidanaan ada tiga macam :
a. Percobaan (poging)
b. Pembantuan (medeplichtige)
c. Belum cukup umur (minderjaring)
a. Percobaan (poging)
Percobaan atau poging ini di atur dalam Pasal 53 KUHP, adapun unsurunsur
delik percobaan adalah :
1.Harus ada niat, artinya orang harus dengan sengaja melakukan perbuatan
jahat
2. Harus ada permulaan pelaksanaan
3. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri.
Adapun dua alasan bagi pembuat Undang-Undang untuk memberi pidana
percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu :
1. Untuk memberantas niat jahat yang terwujud dalam suatu perbuatan
2. Bertujuan untuk melindungi kepentingan hukum yang tercantum oleh niatniat
jahat.
Maksimum pidana pokok terhadap perbuatan percobaan kejahatan adalah
maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga dan terhadap kejahatan yang di
ancam hukuman mati atau pidana penjara, maksimum 15 tahun. Terhadap
percobaan pelanggaran, tidak dikenakan pidana.
b. Pembantuan (medeplichtige)
Pembantuan di atur dalam Pasal 56 KUHP yang berisi ketentuan pidana
sebagai pembantu melakukan kejahatan dengan sengaja memberi kesempatan
dengan adanya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal
pembantuan, maka ancaman hukumannya pidana pokok dikurangi sepertiga
(Pasal 57 ayat 1) dan apabila kejahatan itu merupakan kejahatan yang di
ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dikenakan
ancaman pidana penjara maksimum 15 tahun.
c. Belum Cukup Umur (minderjaring)
Dalam teori hukum pidana, biasanya alasan-alasan yang menghapuskan
pidana ini dibedakan menjadi :
a. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yang benar.
b. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melanggar hukum
dan tetap merupakan tindak pidana. Tetapi tindak pidana yang karena tidak
ada kesalahan, misalnya : adanya daya paksa (overmacht), perintah
undang-undang atau jabatan dan gila.
c. Alasan penghapus penuntutan, yaitu pemerintah menganggap bahwa atas
dasar kemanfaatan pada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan,
yang menjadi perimbangan adalah kepentingan umum.20
Di samping kebebasan di atas, hakim juga memiliki kebebasan untuk
memilih berat ringannya pidana yang dijatuhkan, sebab aturan pemidanaan yang
ada hanya menentukan minimum umumnya, misalnya untuk pidana penjara dan
kurungan minimum umumnya adalah satu (1) hari (Pasal 12 dan 18 KUHP).
Kemudian maksimum umumnya, misalnya untuk pidana penjara lima belas (15)
 
20Bambang Poernomo, Op.Cit., hal. 173.
tahun, yang dapat menjadi dua puluh (20) tahun untuk hal-hal tertentu dan
maksimum khusunya yakni yang di atur dalam masing-masing perumusan tindak
pidananya, misalnya mencuri ancaman maksimum khusunya lima (5) tahun (Pasal
362 KUHP).21
Dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut, hakim mempunyai
kebebasan bergerak untuk menentukan pidana yang tepat. Ternyata di dalam
KUHP tidak dijumpai pedomannya. Jadi, KUHP Indonesia tidak memuat
pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang di buat oleh
perundang-undangan yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim
sebelum menjatuhkan pidana. Yang ada hanya aturan pemberian pidana.22
E. Tindak Pidana Persetubuhan dan Unsur-Unsurnya
Perbuatan persetubuhan merupakan tindak pidana kesusilaan berdasarkan
Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang
merumuskan setiap orang yang dengan sengaja melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, di pidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah). Berdasarkan rumusan Pasal 81 Undang-undang No.23
 
21Martiman Prodjohamidjojo. Op.Cit. hal. 113.
22Ibid
Tahun 2002 di atas, maka dapat diketahui unsur obyektif dan unsur subyektif dari
tindak pidana tersebut, yaitu :
1. Unsur Subyektif :
a. Setiap orang
b. Dengan sengaja
2. Unsur obyektif
a. Melakukan persetubuhan
b. Anak (yang dipaksa)
c. Agar anak : melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Posisi kasus Perkara Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak
1. Kasus Pertama Perkara No. 398/Pid.B/2006/PN.JBI)
Dalam kasus pertama ini terdakwa adalah Supardi bin Kasiman, umur 67
Tahun, Alamat Lorong Merpati, Rt. 06, Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar
Kota Jambi, Jenis Kelamin Laki-Laki, Pekerjaan Sopir. Terdakwa di dakwa secara
kumulatif melakukan tindak pidana, pertama persetubuhan sebagaimana di atur
dan di ancam pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002, Pasal
287 ayat (1) KUHP.
Setelah dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan dan setelah
mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan, majelis hakim
berkesimpulan bahwa dakwaan penuntut umum terbukti secara sah dan
meyakinkan bahwa terdakwa melakukan persetubuhan dan dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan/membujuk anak yaitu Rita
Purna Sari melakukan persetubuhan dengannya, dan menjatuhkan pidana penjara
selama 12 tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,-
2. Kasus Kedua Perkara No. 114/Pid.B/2006/PN.MBLN
Dalam kasus ini terdakwa adalah Kasim Bin Sutarso, umur 33 Tahun,
Jenis Kelamin Laki-Laki, Kebangsaan Indonesia, Alamat Rt.07 Kampung IX
Dusun Meranti, Desa Pejaten, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari,
Agama Islam, Pekerjaan Tani.
Terdakwa di dakwa melakukan tindak pidana berdasarkan surat dakwaan
yang berbentuk subsidairitas, yakni :
PRIMAIR : Melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
SUBSIDAIR : Melanggar Pasal 287 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64
ayat (1) KUHP
LEBIH SUBSIDAIR : Melanggar Pasal 290 ke-2 KUHP jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP
Setelah dilakukannya pemeriksaan sidang pengadilan dan setelah
mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan, majelis hakim
berkesimpulan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah
melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan subsidair dan menjatuhkan
pidana penjara selama 5 tahun.
B. Analisis Penerapan Ketentuan Pidana terhadap Pelaku Persetubuhan
terhadap Anak
1. Kasus Pertama Perkara No. 398/Pid.B/2006/PN.JBI
Anasilis atas putusan pengadilan dalam kasus pertama ini akan diuraikan
berturut-turut tentang fakta yuridis, fakta persidangan, fakta sosiologis dan
putusan atau penjatuhan pidana disertai dengan pendapat penulis.
a. Fakta Yuridis
(1) Pertimbangan hukum sehubungan dengan dakwaan pertama, yaitu Pasal
81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu
ketentuan pidana sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Unsur-unsurnya sebagai berikut :
(a) Unsur setiap orang berarti subyek hukum yang melakukan
perbuatannya dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
itu.
(b) Dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan menyadari
perbuatannya itu.
(c) Unsur tipu muslihat berarti serangkaian kebohongannya, membujuk
atau merayu si wanita tersebut agar mau disetubuhi.
(d) Unsur bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si
laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan
kehamilan yang dilakukan secara bersama-sama.
(2) Pertimbangan hukum sehubungan dengan dakwaan yang kedua Pasal 287
ayat (1) KUHP yaitu barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang
bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa
umur perempuan itu belum cukup 15 tahun, kalau tidak nyata berapa
umurnya, bahwa perempuan itu belum waktunya untuk di kawin, dengan
unsur-unsur sebagai berikut :
(a) Unsur barang siapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang
melakukan perbuatannya dan dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya itu.
(b) Unsur bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si
laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan
kehamilan yang dilakukan secara bersama-sama.
(c) Unsur seorang wanita yang bukan isterinya berarti dil uar
perkawinan.
(d) Unsur belum cukup umur berarti belum waktunya untuk menikah.
b. Fakta persidangan
Dalam hal ini fakta dipersidangan pada prinsipnya berhubungan dengan
alat bukti yang sah yang di peroleh dari hasil pemeriksaan sidang di
pengadilan. Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan
secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa, yaitu sebagai berikut :
(1) Keterangan Saksi-Saksi
(a) Saksi Rita Purnama Sari
1. Bahwa benar saksi kenal dengan terdakwa, di mana terdakwa
adalah datuk saksi (Bapak dari bapak saksi)
2. Bakwa benar saksi tinggal satu rumah dengan bapak, adik dan
terdakwa
3. Bahwa benar di rumah tersebut hanya ada satu kamar
4. Bahwa benar adik saksi tidur dengan bapaknya di kamar
sedangkan saksi tidur dengan terdakwa di ruang tamu dengan
dua kasur berbeda tapi dalam satu kelambu
5. Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 21 Juni 2006 sekitar
pukul 21.00 WIB terdakwa memberi pil tablet CTM/obat tidur
sebanyak tiga butir kepada saksi
6. Bahwa benar terdakwa memberikan kepada saksi CTM
sebanyak tiga butir
7. Bahwa benar saat memberikan CTM terdakwa mengatakan
“Rita makan obat ini, ini obat tidur, karena kau susah tidur”
8. Bahwa benar setelah minum pil tersebut kemudian saksi tidur
9. Bahwa benar setelah saksi tidur terdakwa Supardi bin Kasiman
meraba dan menghisap payudaranya
10. Bahwa benar dalam keadaan setengah sadar atau mengantuk
sekali menelungkup atau membalikkan badannya
11. Bahwa benar terdakwa membuka celana tidur dan celana dalam
saksi dan kemudian terdakwa memasukkan kemaluannya ke
kemaluan saksi dari belakang dan menggerakkannya turun naik
12. Bahwa benar saat sperma terdakwa keluar, lalu kemaluan
terdakwa dicabut
13. Bahwa benar pertama kali terdakwa melakukan meraba-raba
kemaluan saksi saat 100 hari kematian ibu saat saksi kelas VI
SD, terdakwa membuka celana dalamnya dan saat itu saksi
tidur
14. Bahwa benar di celana dalam yang saksi pakai setelah itu ada
darahnya dan saksi tidak berani bilang ke orang lain karena
takut dan terdakwa bilang itu bekas sengat jengkol
15. Bahwa benar saat saksi kencing terasa perih
16. Bahwa benar terdakwa telah memasukkan kemaluannya ke
kemaluan saksi sudah tidak terhitung lagi
17. Bahwa benar saksi pernah melaporkan hal tersebut kepada
Bapak saksi, namun Bapak saksi tidak percaya dan menampar
saksi
18. Bahwa benar saksi pernah mengatakan kepada Fitri Afriani
(temannya) bahwa saksi sudah tidak perawan lagi dan
mengatakan bahwa yang melakukan adalah terdakwa
19. Bahwa benar kemudian saksi dan Fitri Afriani mengadu kepada
bibi saksi yaitu Sumarna
20. Bahwa benar kemudian bibi saksi (Sumarna) mengadukan
perbuatan terdakwa ke Polisi.
(b) Saksi Fitriani bin Karja
1. Bahwa benar saksi satu sekolah dengan saksi korban Rita
Purnama Sari
2. Bahwa benar saksi kenal dengan Rita lebih kurang tujuh tahun,
Rita kelas 1 dan saksi kelas 2
3. Bahwa benar saksi korban Rita Purnama Sari pernah tanya
kepada saksi, apakah saksi masih perawan, lalu saksi jawab iya,
kemudian saksi tanya lagi kepada Rita, apakah Rita masih juga
perawan dan dijawab oleh Rita bahwa ia tidak perawan lagi
oleh Datuknya yaitu terdakwa Supardi kemudian Rita
menangis
4. Bahwa benar lalu saksi mengantar Rita ke tantenya yaitu
Sumarna
5. Bahwa Rita tak berani mengatakan langsung kepada Sumarna,
lalu saksi mengatakan kepada Sumarna bahwa Rita sudah tak
perawan oleh Datuknya yaitu terdakwa Supardi
6. Bahwa benar kemudian Sumarna mengajak Rita melaporkan ke
Polsekta Pasar Jambi
(c) Saksi Ratu Mas Sumarna binti Raden Hasan
1. Bahwa benar hubungan saksi dengan Rita Purnama Sari adalah
keponakan yaitu Rita Purnama Sari adalah anak kakak kandung
saksi
2. Bahwa benar Fitri datang kepada saksi hari Kamis sekira jam
12.30 WIB bulan Juni 2006, tanggalnya lupa bersama Rita ke
rumah saksi di perumahan Jelutung
3. Bahwa benar Fitri mengatakan bahwa Rita mau mengadu tapi
tidak berani dan saat itu Rita menangis
4. Bahwa benar kemudian Fitri mengatakan bahwa Rita sudah
tidak perawan lagi oleh terdakwa
5. Bahwa benar kemudian saksi memastikan kepada Rita dan
menanyakan apakah Rita sudah di kancit datuknya dan Rita
membenarnya
6. Bahwa benar Rita mengatakan telah disetubuhi terdakwa lebih
dari 20 kali atau tidak terhitung lagi
7. Bahwa benar untuk memastikan hal tersebut saksi menyuruh
Rita bersumpah dan Rita tetap membenarkan hal tersebut
8. Bahwa benar kemudian saksi ke rumah kakaknya dan
mengumpulkan semua anggota keluarga dan setelah di tanya
langsung kepada Rita dan Rita tetap mengatakan iya telah
disetubuhi oleh terdakwa sambil bersumpah dan Rita
mengatakan sudah tidak tahan lagi
9. Bahwa benar kemudian saksi membawa Rita ke kantor Polisi
Sektor Pasar untuk melaporkan perbuatan terdakwa
10. Bahwa benar Rita sebelumnya pernah mengatakan kepada saksi
bahwa tangannya bengkak karena di pukul terdakwa
(2) Keterangan Ahli (dalam persidangan tidak ditemukan)
(3) Surat
(a) Surat Visum et Repertum dari Rumah Sakit Bhayangkara
No.Pol.R/78/VII/2006/Rumkit. Tanggal 3 Juli 2006 dengan hasil
pemeriksaan luka robek sampai dasar jam 2,3,6,7,9,11,12 dengan
kesimpulan pemeriksaan : selaput dara tak utuh, luka tersebut biasa
disebabkan oleh persentuhan benda tumpul
(b) Surat keterangan diri siswa dari Kepala Sekolah SMP
Muhammadiyah Kota Jambi, yang menyatakan terdakwa lahir pada
tanggal 13 Oktober 1992
(4) Petunjuk
Adanya persesuaian antara keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa bahwa benar terdakwa Supardi bin Kasiman telah melakukan
persetubuhan sebagaimana didakwakan dalam surat dakwaan.
(5) Keterangan Terdakwa
1. Terdakwa membenarkan BAP-nya yang di buat oleh penyidik
2. Bahwa benar Rita Purnama Sari adalah cucu terdakwa yaitu anak
dari anak laki-laki terdakwa
3. Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 21 Juni 2006 sekira pukul
21.00 WIB, terdakwa telah memberi pil tablet CTM sebanyak tiga
butir kepada Rita Purnama Sari dan mengatakan “Rita minum obat
ini, ini obat tidur karena kau susah tidur”
4. Bahwa benar kemudian Rita Purnama Sari tidur dan saat tidur
terdakwa meraba-raba badan Rita serta payudara Rita kemudian
Rita berbalik membelakangi terdakwa
5. Bahwa benar kemudian terdakwa membuka celana luar dan celana
dalam Rita
6. Bahwa benar kemudian terdakwa memasukkan kemaluannya ke
kemaluan Rita dan menggoyangkannya beberapa kali
7. Bahwa benar saat air mani terdakwa akan keluar lalu kemaluan
terdakwa cabut dan mengeluarkannya di luar kemaluan Rita
8. Bahwa benar terdakwa mencabut kemaluannya ketika akan keluar
air maninya karena takut Rita hamil
9. Bahwa benar terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan
cucunya Rita Purnama Sari lebih kurang 20 kali
10. Bahwa benar terdakwa sering memberi uang kepada Rita Purnama
Sari untuk jajan di sekolah dan jajan di rumah
11. Bahwa benar uang yang diberikan oleh terdakwa kepada Rita
Purnama Sari adalah uang dari anak terdakwa
12. Bahwa benar maksud terdakwa memberikan CTM kepada Rita
Purnama Sari agar hanya tidur
c. Pertimbangan Sosiologis
(1) Hal-hal yang memberatkan :
a. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat
b. Perbuatan terdakwa merusak masa depan korban
(2) Hal-hal yang meringankan :
a. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan
b. Terdakwa belum pernah di hukum
c. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan mengaku terus
terang
d. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan pemeriksaan persidangan, maka Jaksa Penuntut
Umum dengan memperhatikan Pasal yang di dakwakan menuntut :
(1) Menyatakan terdakwa Supardi bin Kasiman terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana di atur dan di
ancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun
2002.
(2) Menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun, dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,-.
Subsidair 6 bulan kurungan.
(3) Barang bukti satu lembar baju warna merah jambu berkembang
bergambar boneka, 1 lembar celana tidur warna merah jambu, 1
lembar celana dalam wanita warna putih bergambar boneka
(dikembalikan kepada Rita Purnama Sari). 2 butir pil tablet CTM
warna kuning yang di simpan dalam botol balsem balpirik tutup warna
merah (di rampas untuk di musnahkan).
(4) Membayar biaya perkara Rp.1.000,-
e. Penjatuhan Pidana
(5) Menyatakan terdakwa Supardi bin Kasiman telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana di atur dan di
ancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undan-Undang No. 23 Tahun
2002.
(6) Menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun, dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,-.
Subsidair 3 bulan kurungan.
(7) Barang bukti satu lembar baju warna merah jambu berkembang
bergambar boneka, 1 lembar celana tidur warna merah jambu, 1
lembar celana dalam wanita warna putih bergambar boneka
(dikembalikan kepada Rita Purnama Sari). 2 butir pil tablet CTM
warna kuning yang di simpan dalam botol balsem balpirik tutup warna
merah (di rampas untuk di musnahkan).
(8) Membayar biaya perkara Rp.1.000,-
f. Pendapat Penulis
Berdasarkan putusan pengadilan terhadap kasus persetubuhan yang
dilakukan terhadap anak dengan terdakwa Supardi bin Kasiman dan setelah
dilakukannya proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi, surat, petunjuk
serta keterangan terdakwa sehingga hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap
terdakwa selama 12 tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,-. Putusan tersebut di
jatuhkan sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yaitu perbuatan yang di
larang oleh Undang-undang itu benar telah dilakukan dan dapat di pertanggung
jawabkan oleh terdakwa serta tidak adanya alasan yang menghapuskan pidana,
tapi penjatuhan pidana penjara 12 tahun yang di nilai relatif berat berdasarkan
ancaman pidana penjara dalam Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak di
bandingkan dengan pidana denda yang di jatuhkan terhadap terdakwa yaitu
sebesar Rp.60.000.000,- yang merupakan pidana denda paling sedikit dalam pasal
tersebut, hal ini menunjukkan keraguan bagi majelis hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa, yaitu tidak sinerginya antara penjatuhan pidana penjara
dengan pidana denda.
Mengenai bentuk penjatuhan pidana yang diberikan kepada terdakwa
dalam kasus persetubuhan terhadap anak yang diberikan berdasarkan ketentuan
yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Anak adalah dengan di
jatuhkannya pidana penjara dan pidana denda secara kumulasi, di mana di dalam
KUHP ketentuan yang seperti ini tidak dimungkinkan karena bertentangan dengan
prinsip dasar pidana pokok yang di anut dalam KUHP.
2. Kasus Kedua Perkara Nomor 114/Pid.B/2006/PN.MBLN
Anasilis atas putusan pengadilan dalam kasus pertama ini akan di uraikan
berturut-turut tentang fakta yuridis, fakta persidangan, fakta sosiologis dan
putusan atau penjatuhan pidana disertai dengan pendapat penulis.
a. Fakta Yuridis
(1) Pertimbangan hukum sehubungan dengan dakwaan pertama, yaitu Pasal
81 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yaitu setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain. Unsur-unsurnya sebagai berikut :
(a) Unsur setiap orang berarti subyek hukum yang melakukan
perbuatannya dan dapat di pertanggung jawabkan atas perbuatannya
itu.
(b) Dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan menyadari
perbuatannya itu.
(c) Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan adalah sesuatu yang
mengakibatkan rasa sakit baik fisik maupun psikis.
(d) Unsur bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si
laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan
kehamilan yang dilakukan secara bersama-sama.
(2)Pertimbangan hukum sehubungan dengan dakwaan yang kedua Pasal 287
ayat (1) KUHP yaitu barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang
bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa
umur perempuan itu belum cukup 15 tahun, kalau tidak nyata berapa
umurnya, bahwa perempuan itu belum waktunya untuk di kawin, dengan
unsur-unsur sebagai berikut :
(a) Unsur barang siapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang
melakukan perbuatannya dan dapat di pertanggung jawabkan atas
perbuatannya itu.
(b) Unsur bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si
laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan
kehamilan yang dilakukan secara bersama-sama.
(c) Unsur seorang wanita yang bukan isterinya berarti di luar
perkawinan.
(d) Unsur belum cukup umur berarti belum waktunya untuk menikah.
(3)Pertimbangan hukum sehubungan dengan dakwaan yang ketiga, Pasal 290
ke-2 KUHP yaitu :
Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun :
(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang,
sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa
umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau tidak
nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat di
kawin.
b. Fakta Persidangan
Dalam hal ini fakta di persidangan pada prinsipnya berhubungan dengan
alat bukti yang sah yang di peroleh dari hasil pemeriksaan sidang di
pengadilan. Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan
secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa, yaitu sebagai berikut :
(1) Keterangan Saksi-Saksi
(a) Saksi Salimah binti Tohari, tidak di sumpah dan pada pokoknya
memberikan keterangan memberatkan terdakwa. Atas keterangan
saksi tersebut terdakwa tidak keberatan bahkan membenarkannya.
(b) Saksi Suntiah binti Tohari, di bawah sumpah yang pada pokoknya
memberikan keterangan memberatkan terdakwa. Atas keterangan
saksi tersebut terdakwa menyatakan tidak keberatan bahkan
membenarkannya.
(c) Saksi Sumarti binti Narianto, di bawah sumpah yang pada
pokoknya memberikan keterangan memberatkan terdakwa. Atas
keterangan saksi tersebut terdakwa tidak membantahnya bahkan
membenarkannya.
(d) Saksi Artinah binti Marjuki, di bawah sumpah yang pada pokoknya
memberikan keterangan memberatkan terdakwa. Atas keterangan
saksi tersebut terdakwa membenarkannya.
(2) Keterangan Ahli
Dalam persidangan tidak ditemukan.
(3) Keterangan Surat
Sesuai dengan Visum et Repertum Nomor. 350/4563/VER-IV/2006
tanggal 18 Juli 2006 yang di buat dan di tanda tangani oleh Dr. Agoes
Oerip. P. Sp.OG. NIP : 140337193. Dengan hasil pemeriksaan
terhadap korban terdapat luka robek pada selaput dara/hymen pada
posisi jam Sembilan akibat kekerasan benda tumpul.
(4) Petunjuk
Adanya persesuaian antara keterangan saksi-saksi, keterangan surat
bahwa benar terdakwa Kasim bin Sutarso telah melakukan tindak
pidana sebagaimana di dakwaan dalam surat dakwaan.
(5) Keterangan Terdakwa
a. Bahwa terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi
salimah sebanyak 5 (lima) kali, yaitu semenjak November 2005
sampai dengan tahun 2006.
b. Bahwa pada bulan November 2005 sekira pukul 08.00 WIB
bertempat di Rumah RT. 07 Dusun Meranti Desa Pejaten
Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari terdakwa mendatangi
rumah saksi Salimah yang pada saat itu sedang memasak dan
berkata “mah, kerumahku yuk” nanti kukasih Rp.15.000,- (lima
belas ribu rupiah) kemudian saksi korban menjawab “moh”
sedangkan terdakwa tetap memaksa dan menarik tangan saksi
korban Salimah dan mengajak kerumah terdakwa. Setelah tiba di
rumah terdakwa, saksi korban Salimah di suruh berbaring di atas
amben sambil terdakwa berkata “kamu jangan ngomong sama
orang lain” lalu saksi korban Salimah diam saja. Bahwa setelah itu
terdakwa membuka pakaian saksi korban Salimah sambil terdakwa
menciumi pipi dan meraba-raba payudara saksi korban Salimah,
lalu terdakwa membuka celana pendek dan celana dalamnya
kemudian menyuruh saksi korban Salimah berbaring lalu terdakwa
menindih tubuh saksi korban Salimah sambil berusaha
memasukkan alat kelaminnya dengan cara menekan-nekankan alat
kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban Salimah, selama
beberapa menit sampai terdakwa merasakan nikmat dan
mengeluarkan spermanya di dalam alat kelamin saksi korban
Salimah. Saksi korban Salimah tidak dapat melakukan perlawanan
(diam saja) lalu terdakwa menyuruh saksi korban Salimah
memakai pakaiannya serta memberikan uang sebesar Rp. 20.000,-
(dua puluh ribu rupiah) dan terdakwa menyuruh saksi korban
pulang kerumahnya.
c. Bahwa pada hari dan tanggal yang tidak dapat di ingat lagi
berselang beberapa hari dari kejadian yang pertama pada bulan
November 2005 sekira pukul 08.00 WIB bertempat di dalam
rumah terdakwa di RT. 07 Dusun Meranti, Desa Pejaten,
Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Saksi korban
Salimah saat itu sedang bermain di belakang rumahnya, kemudian
terdakwa datang dan mengatakan “mah, kerumahku, beli sarimi”
lalu saksi korban Salimah ikut masuk ke dalam rumah terdakwa.
Kemudian terdakwa menyuruh saksi korban Salimah untuk duduk
di atas amben, setelah itu terdakwa meraba-raba tubuh saksi korban
Salimah dan sambil terdakwa membuka seluruh pakaian saksi
korban Salimah dan terdakwa juga membuka bajunya, selanjutnya
terdakwa menciumi pipi, bibir saksi korban Salimah. Kemudian
terdakwa menindih tubuh saksi korban Salimah dimana kedua kaki
terdakwa menahan di antara kedua kaki saksi korban Salimah
hingga terdakwa berhasil memasukkan alat kelaminnya ke dalam
alat kelamin saksi korban Salimah sambil terdakwa menekannekan
alat kelaminnya selama beberapa menit ke dalam alat
kelamin saksi korban Salimah sampai terdakwa merasakan nikmat
dan mengeluarkan spermanya di dalam alat kelamin saksi korban
Salimah, yang mengakibatkan alat kelamin saksi korban Salimah
mengeluarkan darah. Kemudian terdakwa menyuruh saksi korban
Salimah memakai pakaiannya dan pulang ke rumah serta
memberikan uang kepada saksi korban Salimah Rp. 15.000,- (lima
belas ribu rupiah).
d. Bahwa pada hari dan tanggal yang tidak dapat di ingat lagi pada
bulan Desember 2005 sekira pukul 09.00 WIB, bertempat di dalam
rumah milik terdakwa di RT.07, Dusun Meranti, Desa Pejaten,
Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, saksi korban akan
pergi mengaji lalu bertemu dengan tedakwa di samping rumah
terdakwa. Lalu terdakwa mengajak saksi korban Salimah masuk ke
dalam dapur rumahnya dan mengajak di belakang rumahnya lalu
terdakwa memanggil dan merayu saksi korban Salimah berpacaran
di atas ambennya sambil terdakwa menciumi pipi saksi korban
Salimah serta menyuruh saksi korban Salimah berbaring. Setelah
itu terdakwa menyuruh saksi korban Salimah membuka bajunya
sambil terdakwa juga membuka bajunya. Kemudian terdakwa
menindih dan memasukkan alat kelaminnya kedalam alat kelamin
saksi korban Salimah sambil menekan-nekan alat kelaminnya
selama beberapa menit di dalam alat kelamin saksi korban Salimah
hingga terdakwa merasakan nikmat dan mengeluarkan spermanya
di dalam alat kelamin saksi korban Salimah. Kemudian saksi
korban Salimah berkata “aku minta duitnya lek” dan terdakwa
memberikan uang Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) lalu saksi
korban Salimah pergi ke sumur untuk mencuci pakaian.
c. Fakta Sosiologis
Hal-hal yang memberatkan :
Perbuatan terdakwa telah merusak masa depan saksi korban Salimah dan
telah membuat aib bagi keluarga saksi korban.
Hal-hal yang meringankan :
1. Terdakwa belum pernah di hukum
2. Terdakwa menyesali perbuatannya
3. Terdakwa sebagai tulang punggung keluarga
d. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan pemeriksaan persidangan, maka Jaksa Penuntut Umum
dengan memperhatikan pasal yang di dakwakan, menuntut :
1. Menyatakan terdakwa Kasim bin Sutarso terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut di
dalam dakwaan primair, subsidair dan lebih subsidair penuntut umum.
2. Menetapkan masa tahanan yang telah di jatuhi terdakwa di kurangkan
seluruhnya dari pidana yang di jatuhkan.
3. Menetapkan terdakwa tetap di tahan.
4. Menetapkan pula membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
e. Putusan atau Penjatuhan Pidana
1. Menyatakan terdakwa Kasim bin Sutarso tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut di
dalam dakwaan primair penuntut umum.
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut.
3. Menyatakan terdakwa Kasim bin Sutarso telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut di
dalam dakwaan subsidair penuntut umum.
4. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana
penjara selama 5 (lima) tahun.
5. Menetapkan masa tahanan yang telah di jatuhi terdakwa di kurangkan
seluruhnya dari pidana yang di jatuhkan.
6. Menetapkan terdakwa tetap di tahan.
7. Menetapkan pula membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
f. Pendapat Penulis
Berdasarkan putusan pengadilan terhadap kasus tersebut di atas dengan
terdakwa Kasim bin Sutarso dan setelah dilakukannya proses persidangan
melalui pemeriksaan saksi-saksi, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa
sehingga hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 5
tahun penjara. Putusan tersebut di jatuhkan sudah sesuai dengan ketentuan
yang ada dalam Pasal 287 KUHP yaitu perbuatan yang di larang oleh rumusan
pasal tersebut telah dilakukan dan dapat di pertanggung jawabkan oleh
terdakwa serta tidak adanya alasan yang menghapuskan pidana. Tapi, pidana
tersebut di nilai kurang tegas di jatuhkan karena berdasarkan bukti
persidangan terdakwa sudah secara jelas melakukan perbuatan sesuai dengan
yang di dakwakan, tetapi majelis hakim hanya menjatuhkan setengah dari
ancaman maksimal pidana yang di ancamkan dalam pasal 287 KUHP tersebut,
hal ini menunjukkan keragu-raguan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana
bagi terdakwa yang terbukti secara jelas telah melakukan perbuatan yang di
larang itu, walaupun hakim mempunyai kebebasan dalam memilih mengenai
berat ringannya pidana yang akan di jatuhkan terhadap terdakwa.
Mengenai bentuk penjatuhan pidana yang di berikan kepada terdakwa
dalam kasus tersebut di atas, yang di berikan berdasarkan ketentuan yang
terdapat dalam KUHP adalah dengan di jatuhkannya pidana penjara, yang
dalam ketentuan dalam KUHP bersifat imperatif (keharusan).

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis kasus sebagaimana telah di uraikan pada Bab sebelumnya,
dapat di kemukakan kesimpulan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa kasus persetubuhan terhadap anak ternyata tidak ada standar
yang di harapkan dapat mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan
kemanfaatan hukum. Hal ini dapat terlihat dalam penjatuhan pidana dan bentukbentuk
penjatuhan pidana yang diberikan yaitu :
1. Dalam penjatuhan pidana hakim tidak menjatuhkan pidana terberat kepada
terdakwa walaupun berdasarkan pemeriksaan di persidangan terdakwa
telah terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana itu.
2. Bentuk-bentuk penjatuhan pidana terhadap terdakwa pelaku persetubuhan
terhadap anak cenderung berbeda-beda, hal ini di karenakan terdapatnya
dua aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana yang sama dan
juga di karenakan kurang telitinya Jaksa Penuntut Umum dalam membuat
dakwaan terhadap terdakwa, sehingga pasal-pasal yang seharusnya
menjadi dasar tuntutan dan landasan bagi hakim dalam menjatuhkan
putusan yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak
terakomodir dalam surat tuntutan yang di buat oleh Jaksa Penuntut Umum.
Oleh karena itu korban maupun keluarga korban dari adanya tindak pidana
ini merasa kurang puas akan hukuman yang di jatuhkan terhadap terdakwa
yang dianggap telah merusak masa depan korban yang seharusnya pada
usia anak-anak ini ia mendapatkan perlindungan akan hak-hak nya sebagai
anak seperti yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-Hak Anak.
B. Saran
Hakim sebagai aparat penegak hukum yang diberikan wewenang oleh
Undang-undang untuk menjatuhkan pidana terhadap orang yang dianggap telah
melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum pidana, diharapkan dalam
putusannya benar-benar berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam pedoman
pemidanaan sehingga pidana yang dijatuhkan mempunyai kemanfaatan baik bagi
terpidana sendiri maupun terhadap masyarakat, serta tuntutan yang dibuat oleh
Jaksa Penuntut Umum diharapkan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa sehingga perbuatan, tuntutan dan putusan pidana yang dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak cenderung tidak akan berbeda
jauh pidana yang diberikan oleh hakim. sehingga kepastian hukum lebih terjamin
dan pada akhirnya rasa keadilan dalam masyarakat akan terwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chazami, Adami. Pelajaran Hukum Pidana (bagian I), PT Raja Grasindo
Persada, Jakarta : 2002.
Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986.
L.A.F Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia, Armico, Bandung, 1984
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta,
2002.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 1984
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,
1993.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapaan Pembuktian Terbalik dalam Delik
Korupsi, CV Mandar Maju, Bandung, 2001.
Prakoso, Djoko, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984.
R.Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik
Khusus, Edisi Ketiga, Politia, Bogor, 1979
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV
Rajawali, Jakarta, 1983.
Sumaryati, Pencegahan Kejahatan Anak sebagai Suatu Usaha Perlindungan
Anak, dalam Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Grafika
Indah, Jakarta, 1986
Suparman, Marzuki, Otot, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum VII, Yogyakarta,
1995
Suparmi, Ninik, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta, 1996

 


2 komentar:

  1. Bang ane anak fh unja juga, disuruh nyari llatar belakang masalah,, izin copy ya bang?

    BalasHapus
  2. izin copas buat referensi tugas y bang...trmksh...

    BalasHapus