Kamis, 18 Agustus 2011

PUU Pasal dalam KUHAP

PUTUSAN
Nomor 65/PUU-VIII/2010
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209, selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
disingkat KUHAP), yang menyatakan:
Pasal 1 angka 26:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Pasal 1 angka 27:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu.”

Pasal 65:
“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”

Pasal 116 ayat (3):
“Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya
saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu
dicatat dalam berita acara.”

Pasal 116 ayat (4):
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil
dan memeriksa saksi tersebut.”

Pasal 184 ayat (1) huruf a:
“Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi;”

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945), yang menyatakan:

Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 27 ayat (1):
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

Pasal 28H ayat (2):
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.”

Pasal 28I ayat (2):
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.”

Pasal 28I ayat (4):
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Pasal 28I ayat (5):
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan”

Bahwa Pemohon mendalilkan pengertian saksi yang diatur dalam pasal-pasal
KUHAP a quo merugikan Pemohon karena pengertian tersebut mengakibatkan
Pemohon tidak dapat mengajukan saksi meringankan (a de charge) yang tidak
mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan atau
didakwakan, maupun yang potensial disangkakan atau didakwakan kepada
Pemohon;

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah untuk
menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang yaitu Pasal 1 angka 26 dan
angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1)
huruf a KUHAP terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan
Mahkamah, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU
MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007,
serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada
paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo
sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara
Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3);
Pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28H ayat (2); Pasal 28I ayat (2); Pasal
28I ayat (4); dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, dirugikan akibat berlakunya
ketentuan Pasal 1 angka 26 dan angka 27 dihubungkan dengan Pasal 65 juncto
Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP;

[3.7.2] Bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK dan
putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing) serta
dikaitkan dengan dalil-dalil kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon,
menurut Mahkamah, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang dirugikan oleh
berlakunya peraturan yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat
spesifik dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
Dengan demikian, Mahkamah berpendapat Pemohon mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
pokok permohonan;

Pendapat Mahkamah

Pokok Permohonan

[3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian
Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); dan
Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP terhadap UUD 1945;

[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan Pemohon,
keterangan pemerintah, keterangan DPR, dan fakta yang terungkap di
persidangan, permasalahan hukum yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah
adalah mengenai i) pengertian saksi; ii) permohonan pengajuan saksi oleh
tersangka dan terdakwa; iii) pemanggilan saksi; dan iv) kewenangan menilai
relevansi kesaksian. Untuk menjawab permasalahan hukum tersebut Mahkamah
memberikan pertimbangan sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa pada dasarnya hukum acara pidana memuat normanorma
yang menyeimbangkan antara kepentingan hukum individu dan
kepentingan hukum masyarakat serta negara, karena pada dasarnya dalam
hukum pidana, individu dan/atau masyarakat berhadapan langsung dengan
negara. Hubungan ini menempatkan individu dan/atau masyarakat pada posisi
yang lebih lemah. Dalam hal ini, hukum acara pidana berfungsi untuk membatasi
kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum,
maupun hakim, dalam proses peradilan pidana terhadap individu dan/atau
masyarakat, terutama tersangka dan terdakwa yang terlibat dalam proses tersebut;

[3.12] Menimbang bahwa hak asasi seseorang tetap melekat pada dirinya
meskipun ia telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu
dalam suatu negara hukum, hukum acara pidana diposisikan sebagai alat agar
pelaksanaan proses hukum dijalankan secara adil (due process of law) demi
penghormatan terhadap hak asasi manusia, yang antara lain mencakup upaya

perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara,
pemberian berbagai jaminan bagi tersangka dan terdakwa untuk membela diri
sepenuhnya, penerapan asas praduga tidak bersalah, serta penerapan asas
persamaan di hadapan hukum;

[3.13] Menimbang bahwa mengenai pengertian “saksi” sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat
(4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, berdasarkan penafsiran menurut
bahasa (gramatikal) dan memperhatikan kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam
KUHAP, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dia
dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri. Secara ringkas, Mahkamah
menilai yang dimaksud saksi oleh KUHAP tersebut adalah hanya orang yang
mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan atau
didakwakan;

Menurut Mahkamah, pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65
KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu pada Pasal 1
angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP memberikan pembatasan bahkan
menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan
saksi yang menguntungkan baginya karena frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri,
melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat
diajukan sebagai saksi yang menguntungkan. Padahal, konteks pembuktian
sangkaan atau dakwaan bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau
terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan
meliputi juga pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana adalah benarbenar
terjadi. Dalam konteks pembuktian apakah suatu perbuatan/tindak pidana
benar-benar terjadi; dan pembuktian apakah tersangka atau terdakwa benar-benar
melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana dimaksud, peran saksi alibi
menjadi penting, meskipun ia tidak mendengar sendiri, ia tidak meIihat sendiri, dan
ia tidak mengalami sendiri adanya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka atau terdakwa;

Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi
pengertian saksi alibi, dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi
lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge)
bagi tersangka atau terdakwa, antara lain, saksi yang kesaksiannya dibutuhkan
untuk mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya;
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, arti penting saksi bukan terletak pada
apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana,
melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang
diproses;

[3.14] Menimbang bahwa terkait dengan permasalahan siapa pihak yang
memiliki kewenangan untuk menilai apakah saksi yang diajukan tersangka atau
terdakwa memiliki relevansi dengan sangkaan atau dakwaan, Mahkamah
berpendapat bahwa penyidik tidak dibenarkan menilai keterangan ahli dan/atau
saksi yang menguntungkan tersangka atau terdakwa, sebelum benar-benar
memanggil dan memeriksa ahli dan/atau saksi yang bersangkutan;
Mahkamah menilai, kewajiban penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi
yang menguntungkan bagi tersangka tidak berpasangan dengan kewenangan
penyidik untuk menilai apakah saksi yang diajukan memiliki relevansi atau tidak
dengan perkara pidana yang disangkakan, sebelum saksi dimaksud dipanggil dan
diperiksa (didengarkan kesaksiannya). Begitu pula dengan kewenangan jaksa
penuntut umum dan hakim untuk menilai relevansi keterangan saksi baru dapat
dilakukan setelah dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan saksi yang diajukan
tersangka atau terdakwa, untuk selanjutnya menentukan apakah tersangka
memenuhi semua unsur tindak pidana dan statusnya layak ditingkatkan menjadi
terdakwa;

[3.15] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, pengaturan atau pengertian
saksi dalam KUHAP, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa
serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundangundangan
pidana. Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana dapat
mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum
acara pidana berhadapan antara penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memiliki kewenangan untuk memeriksa dengan tersangka atau terdakwa yang
berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum;

Dengan demikian, ketentuan pemanggilan serta pemeriksaan saksi dan/atau ahli
yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa, sebagaimana diatur dalam
Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, harus ditafsirkan dapat
dilakukan tidak hanya dalam tahap persidangan di pengadilan, tetapi juga dalam
tahap penyidikan. Menegasikan hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan
(memanggil dan memeriksa) saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi diri
tersangka atau terdakwa pada tahap penyidikan, dan hanya memanggil saksi yang
menguntungkan pada tahap pemeriksaan di muka pengadilan saja, merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Pengajuan saksi dan/atau ahli, yang menjadi hak tersangka atau terdakwa, di sisi
lain merupakan kewajiban bagi penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk
memanggil dan memeriksa saksi dan/atau ahli a quo. Hal demikian adalah bagian
sekaligus penerapan prinsip due process of law dalam proses peradilan pidana,
dan upaya mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum.
Namun demikian, harus tetap diperhatikan bahwa pengajuan saksi atau ahli yang
menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana
bukan untuk menghalangi ditegakkannya hukum pidana. Meskipun hak tersangka
atau terdakwa dilindungi oleh hukum acara pidana namun tetap harus diperhatikan
batas-batas kewajaran dan juga kepentingan hukum masyarakat yang diwakili oleh
negara;

[3.16] Menimbang bahwa mengenai petitum permohonan Pemohon tentang
implikasi konstitusional dan yuridis kepada penyidik pada Kejaksaan Agung
Republik Indonesia yang memeriksa Pemohon untuk memanggil dan memeriksa
saksi-saksi yang menguntungkan yang diminta oleh Pemohon yaitu Megawati
Soekarnoputri, HM Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono,
menurut Mahkamah merupakan kasus konkret yang bukan merupakan
kewenangan Mahkamah, oleh karena itu dalil permohonan Pemohon tidak
beralasan hukum;

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, Mahkamah berpendapat Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal
116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27;
Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak
dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Adapun permohonan selain
dan selebihnya tidak beralasan hukum;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan terbukti menurut hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:
Dalam Pokok Perkara:

�� Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

�� Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3)
dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal
116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula
“orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;

�� Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3)
dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka
27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak
dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam
rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang
tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;

�� Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;

�� Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;



Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Anwar

Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, pada hari
Selasa, tanggal dua bulan Agustus tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal
delapan bulan Agustus tahun dua ribu sebelas oleh sembilan Hakim Konstitusi,
yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki,
Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Anwar Usman, Hamdan Zoelva,
Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota,
dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta
dihadiri oleh Pemohon dan Pemerintah atau yang mewakili, tanpa dihadiri Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar