Kamis, 18 Agustus 2011

AGRARIA


PEMBAHARUAN HUKUM AGRARIA


A.    Alasan Diadakan Pembaharuan Hukum Tanah

Masalah pembaharuan hukum tanah telah disinggung dalam Konsiderans UUPA berikut Penjelasan Umumnya. Adapun sebab utama perlunya dilakukan pembaharuan tersebut yakni:
1.      karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan  kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini.
2.      karena sebagai akiba dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraraia tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peratran dari hukum adat di samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serbasulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa
3.      karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.


B.     Hukum Tanah Administratif Hindia Belanda
1.      Agrarische Wet 1870
Agrarische Wet yang merupakan suatu undang-undang yang lahir di Belanda dan diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1870 dan merupakan tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regeling Reglement Hindia Belanda tahun 1845. RR yang semula hanya terdiri atas 3 ayat, kemudian ditambahkan dengan 5 ayat. Secara keseluruhan Agrarische Wet tersebut berbunyi:
(1) Gubernur Jendaral tidak boleh menjual tanah
(2) Dalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang dperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha
(3) Gubernur Jendaral dapat menyewakan taah menuruti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan kepunyaan desa.
(4) Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebihdari tujuh puluh tahun.
(5) Gubernur Jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi
(6) Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keprluan sendiri, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atas dasar lain merupakan kepnyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan Pasl 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti rugi yang layak
(7) Tanah yang dipunyai orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan dalam surat eigendomnya, yaitu yang mengenai kewaibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga wewenangnya untuk menjualnya kepada bukan pribumi
(8) Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada nonpribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi

2.      Tujuan Agrarische Wet
Tujuan utama diberlakukannya Agrarische Wet (AW) ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak yang diberikan adalah hak erfpacht yakni suatu hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain.

3.      Agrarisch Besluit
Ketentuan yang terdapat dalam Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh beberapa peraturan dan keputusan, di antaranya adalah agrarische besluit yang diundangkan dalam S. 1870-118. Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit memuat asas yang  kemudian disebut sebagai Domein Verklaring (pernyataan domein). Pada pernyataan domein ini disebutkan bahwa “.... semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.”

4.      Fungsi Domein Verklaring
Dalam praktek pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein verklaring berfungsi:
a.       sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUH Perdata, seperti erfpach, opstal dan lainnya.
b.      Di bidang pembuktian kepemilikan

5.      Akibat Hukum keberlakuan Agrarische Wet 1870
Keberlakuan Agrarische Wet beserta peraturan pelaksananya Agrarisch Besluit di mana di dalamnya memuat asas Domein verklaring ini dirasakan memperkosa hak-hak masyarakat asli Indonesia. Karena bila melihat secara kenyataan yang ada pada saat itu, hanya sebagian kecil saja tanah-tanah yang dikuasai dengan hak-hak adat yang terdaftar di Kantor Kadaster Hindia Belanda. Selebihnya, tanah-tanah dengan hak-hak adat tersebut tidak terdaftar dan secara yuridis akan diakui sebagai milik negara. Keadaan demikian menciptakan kondisi hukum tanah keperdataan yang terkait pada alas hak tanah-tanah tersebut. Tanah-tanah dengan hak-hak adat yang tidak terdaftar inilah yang kemudian digolongkan ke dalam vrij lands domein dan onvrij lands domein.OnVrij lands domein dimaksudkan sebagai tanah-tanah yang dikuasai oleh hak-hak adat yang bersifat perorangan yang menyebabkan negara tidak bebas untuk memberikan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. Sementara vrij lands domein ditujukan kepada tanah-tanah yang dikuasai oleh hak-hak masyarakat hukum adat (bersifat komunal) dimana hak-hak tersebut tidak mendapat pengakuan eksistensinya dalam sistem Domein Verklaring. Dengan demikian pengambilan tanah-tanah milik rakyat yang dikuasai dengan hak ulayat dilakukan melalui acara 133 IS, dengan pemberian ganti kerugian yang layak, yang disebut sebagai recognitie.
            Dengan demikian dalam sistem domein verklaring terciptalah kondisi pertanahan yang dualistik. Ada tanah-tanah dengan hak-hak barat seperti eigendom, hal erfpacht, hak opstal. Ada tanah-tanah dengan hak-hak adat,yang sebagian besar dinyatakan sebagai vrij dan onvrij lands domein. Ada tanah-tanah dengan hak-hak ciptaaan Pemerintah Hindia Belanda, seperti hak agrarisch aegendom, lenderijen  bezitrecht. Juga adanya tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Swaparaja seperti grant sultan.
            Berdasarkan Pasal 570 BW yang dimaksud dengan hak eigendom adalah hak milik atas tanah yang mempunyai sifat mutlak. Sementara hak erfpacht adalah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah milik orang lain sambil sedapat mungkinmenarik manfaat atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut (Pasal 720 BW). Ciri-ciri hak erfpach yakni sebagai suatu hak kebendaan yang dapat dipindah tangankan, dapat dibebani hak hypotheek dan dapat beralih secara turun emurun. Hak ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memakai tanah orang lain untuk diusahakan dan diambil hasilnya dengan memberikan/membagi sebagian dari hasil kepada pemilik.
Hak opstal adalah hak untuk memiliki sesuatu yang terdapat di atas hak orang lain, misal bangunan, tumbuh-tumbuhan dll (Pasal 711BW). Sebagai suatu hak yang bersifat kebendaan maka kepada pemegangnya diberikan wewenang untuk memiliki bangunan, tumbuh-tumbuhan atau apa saja, di mana hak ini dapat dipindahtangankan, dibebani hak hypotheek dan dapat beralih secara turun temurun sampai habis masa berlakunya.
Hak lain yang tergolong hak yang kuat dalam hak-hak barat adalah hak gebruik. Menurut Pasal 818 BW, hak gebruik adalah hak untuk memakai tanahmilik orang lain untuk diusahakan dan diambil hasilnya serta hak untuk dapat mendiami tanah tersebut. Berbeda dengan kedua hak di atas, maka meski hak gebruik termasuk juga hak yang bersifat kebendaan namun hak ini tidk dapat dibebani dengan hak hypotheek. Namun meski demikian ia tetap dapat beralih secara turun temurun bergantung pada perjanjian. Hak ini akan berakhir bila habis jangka waktunya dan benda-benda yang berada di atas tanah tersebut menjadi milik pemilik tanah. Karena wewenangnya hanya untuk memakai benda (tanah) orang lain untuk diusahakan dan dipungut hasilnya, maka bagi pemegangnya tertuang kewajiban untul menjaga ketetapan kondisi dan keberadaan tanah yang bersangkutan.
Di samping tanah-tanah hak adat dan tanah-tanah hak barat, terdapat pula tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Hindia Belanda misalnya tanah dengan hak agrarisch eigendom adalah hak yang berasal dari hak milik adat yang atas permohonan pemilikny, melalui suatu prosedur teretntu, diakui keberadaannya oleh Pengadilan (Pasal 15 IS ayat 7) dan landerijenbezitrechtI atau tanah-tanah tionghwa.  Hal ini dimaksudkan karena subyek hak atas tanah ini terbatas pada golongan Timur Asing, terutama golongan China. Pada awalnya hak ini disebut dengan altijddurende erfpach. Pada hakikatnya hak ini tidak berbeda dengan hak milik adat.
Sementara itu untuk tanah-tanah di daerah-daerah swapraja di Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan Pemerintah Swapraja. Di daerah Kesultanan Deli misalnya dikenal tanah-tanah yang dipunyai dengan apa yang disebut:
1.      grant sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh Pemerintah swapraja, khusus bagi para kaula Swapraja, didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.
2.      Grant controleur, diberikan oleh Pemerintah swapraja bagi bukan kaula swapraja, didaftar di Kantor Controleur
3.      grant del maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli Maattschappij, dikenal dengan sebutan grant D. Merupakan suatu hak atas tanah yang berasal dari tanah grant yang diberikan oleh Pemerintah Swapraja kepada perusahaan Deli Maatschappij. Oleh Deli Maatschapiij tanah grant ini dipetak-petak dan diberikan kembali pada pihak yang memerlukannya.
4.      Hak konsesi untuk perusahaan kebun besar, diberikan oleh Pemerintah Swapraja dan didaftar di kantor Residen.
Di samping itu masih ada tanah-tanah lain yang dikuasai dengan hak sewa. Ada yang untuk usaha perkebunan besar, tetapi yang terbanyak untuk usaha perkebunan rakyat, terutama diusahakan oleh penduduk Cina, yang dikenal dengan sebuan “ tanah-tanah H.O” (huur overeenkomst). Tanah-tanah ini termasuk tanah-tanah yang haknya didaftar dan banyak terdapat di Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat.


B. Hukum Tanah Nasional

1.                    Tujuan pokok UUPA
Dalam Penjelasan Umum I dinyatakan bahwa ada 3 (tiga) tujuan pokok UUPA yakni:
a.       meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akanmerupakan alat untuk memawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
b.      meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhaan dalam hukum pertanahan
c.       meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya

2.        Sifat Nasional Hukum Tanah
UUPA memulai dengan menyebutkan dalam konsideransnya cacat-cacat dan kekurangan-kekurangan hukum tanah yang lama. Berhubung dengan itu, perlu diganti dengan hukum tanah yang baru yang bersifat nasional. Sifat nasional tersebut harus mengenai segi formal dan materiil. Mengenai segi formal, hukum tanah nasional harus dibuat oleh pembentuk undang-undang Indonesia, dibuat di Indonesia dan disusun dalam bahasa Indonesia. Hukum tanah ini pun harus berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah negara Republik Indonesia.
Sementara dari segi materiilnya berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas, sistem dan isinya. Bila dilihat dari Konsiderans UUPA maka segi meteriil tersebut adalah:
a.       harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah : karena dianggap sebagai sesuai dengan kepribadian bangsa kita
b.      harus sederhana, karena kesederhaan sesuai dengan sifat dan tingkat pengetahuan bangsa Indonesia, dengan cara menghapuskan dualisme hukum
c.       harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, terkait pada semakin majunya sistem dan tingkat perekonomian nasional yang berhubungan dengan kegatan-kegiatan hukum di bidang pertanahan.
d.      harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
e.       harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dlam membangun masyarakat yang adil dan makmur
f.       harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
g.      harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan jaman dalam segala soal agraria
h.      harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila
i.        harus merupakan manifesto politik sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960
j.        harus melaksanakan ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, penggunaan itu bisa secara perseorangan maupun secara gotong royong.

3.        Peranan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional.
Dalam rangka membangun Hukum Tanah Nasional, Hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya, berupa konsepsi,asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis.  Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional inilah yang dimaksudkan bahwa hukum tanah nasional berdasarkan atas hukum adat.
            Konsepsi hukum adat  yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.  Sifat ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
            Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan raung angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

            Sementara asas-asas hukum adat yang digunakan adalah asas religiusitas, asa kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
           
4.        Sumber-sumber Hk.Tanah Nasional
Ketentuan-ketentuan hukum tanah nasional terdiri atas :
d.      norma-norma hukum tertulis, dituangkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan ; antara lain:
(1)   UUD 1945
(2)   UUPA
(3)   Peraturan-peraturan pelasana UUPA
(4)   Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA, yang dikelaurakn  sesudah tanggal 24 Sepetember 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur.
(5)   Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku, berdasarkan ketentuan Pasal-pasal peralihan.
e.       norma-norma hukm tidak tertulis :
(1)    norma-norma hukum adat yang sudah disaneer menurut ketentuan Pasal 5, 56 dan 58 UUPA
(2)   hukum kebiasaan baru yang bukan hukum adat, termasuk yurisprudensi dan praktik administrasi, dalam melaksanakan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum tanah tertulis yang ada. Ataupun merupakan pembentukan hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.


POKOK BAHASAN III
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK HAK-HAK PENGUASAAN

ATAS TANAH


Jenis-Jenis Hak Penguasaan Atas Tanah


Fokus pembahasan pada materi ini berkisar mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat umum yang ada kaitannya dengan kelembagaan Negara Indonesia sebagai sebuah perkumpulan masyarakat yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu "bangsa Indonesia". Bangsa Indonesia merupakan paguyuban dari semua suku yang terdapat di nusantara, yang dalam kehidupannya tunduk pada aturan yang dibuat oleh para ketua suku dan merupakan pedoman yang dipatuhi oleh warganya, termasuk di dalamnya masalah tanah.

1.    Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah
Berbicara mengenai hak bangsa Indonesia, maka arah dan tujuannya berhubungan erat dengan konsep bangsa dalam arti yang sangat luas. Dalam artian bahwa konsep bangsa merupakan artikulasi dari mengangkat kepentingan bangsa di atas kepentingan perorangan atau golongan. Hal ini berarti bahwa hak bangsa Indonesia atas tanah mempunyai makna bahwa kepentingan bangsa Indonesia di atas kepentingan perorangan atau golongan. Dalam Pasal 1 ayat (1, 2, dan 3) UUPA No. 5. Tahun 1960 dinyatakan bahwa: 
(1)   Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruhrdky'at Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2)   Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yangterkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasabangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3)   Hubunganbangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1,2, dan 3) UUPANo. 5 Tahun 1960 tersebut sejalan dengan Penjelasan Umum UUPANo. 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa:

Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadihak dari pemiliknya saja. Demikian pula tanafi-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1, 2, dan 3) UUPANo. 5 Tahun 1960 tersebut di atas, Boedi Harsono mengatakan bahwa: „...
Hak bangsa Indonesia adalah semacam hak ulayat, berarti dalam konsepsi tjukum Tanah Nasienal, hak tersebut-merupakan hak pengitasaan atas tanahyang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah. yang lain, termasuk Hak Ulayat dan hak-hak perseorqngan atas tanah yang dimaksud oleh Penjelqsan Umum di atas, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bersumber pada Hak Bangsa. Maka dalam hubungan ini, perkataan "pula" dalam kalimat "menjadi hak pula dari bangsa Indonesia ", seharusnya tidak perlu ada. Karena bisa menimbulkan kesan, seakan-akan Hak Bangsa adalah sejajar dengan Hak Ulayat dan hak-hak perorangan.

Selain pendapat yang dikemukakan oleh- Boedi Harsono mengenai pengertian Hak Bangsa Indonesia atas Tanah di atas, Sudargo Gautama menyatakan bahwa:
Selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia

Berdasarkan uraian di atas, Boedi Harsono3 memberikan uraian mengenai ketentuan-ketentuan pokok yang terkandung dalam Hak Menguasai Bangsa Indonesia atas tanah sebagai berikut.
a.    Sebutan dan Isinya
Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan Hukum Tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUPA. UUPA tidak memberikan nama yang khusus mengenai hak bangsa atas tanah. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tinggi dalam hukum tanah nasional. Oleh karena itu, semua hak atas yang lain, secara langsung maupun tidak langsung bersumber padanya. Hak bangsa memiliki dua unsur, yakni unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.

b.    Pemegang Haknya
Subjekhak bangsa adalah seluruh rakyaljndonesia sepanjang masa, yaitu generasi-generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.

c.     Tanah yang Dihaki
Hak bangsa meliputi semua tanahjapg ada dalam wilayah negara Republik Indonesia, maka tidak ada tanah yang merupakan res nullius.

d.    Terciptanya Hak Bangsa
Tanah bersama tersebut adalah Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hak Bangsa sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkret merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hak bangsa sebagai lembaga hukum tercipta pada saat diciptakannya hubungan hukum konkret dengan tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia.

e.    Hubungan yangs Bersifat Ahadi
Hubungan yang bersifat abadi mempunyai makna bahwa hubungan yang akan berlangsung tidak akan putus untuk selama-lamanya.

2.    Hak Menguasai Negara atas Tanah
Negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan memiliki sejumlah tujuan hakiki sebagai pengemban tujuan dari seluruh warga negara-nya. Oleh karena itu, sangat wajar kalau setiap hukum positif (UU) selalu menempatkan suatu tujuan yang terdapat dalam hukum itu yang secara inklusif, termasuk tujuan negara. Sebab berbicara mengenai tujuan hukum sama halnya berbicara mengenai tujuan negara. Hal ini dapat terlihat dalam Ketentuan-Ketentuan Dasar Pokok Agraria, yang menempatkan hak menguasai negara atas tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa:
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, terraasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk:
a.   mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b.   menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak yang menguasai dari negara tersebut pada Pasal 2 ayat ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari negara di atas, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Sehubungan dengan uraian mengenai hak menguasai negara atas tanah, maka Boedi Harsono memberikan penjelasan sebagai berikut.
a.    Sebutan Isinya
Hak Menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah Indonesia, sesuai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA. Dalam penjelasan Umum II UUPA disebutkan bahwa UUPAberpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak perlu dan tidak pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara bertindak selaku Badan Penguasa. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas tersebut negara merupakan organisasi kekuasaan rakyat yang tertinggi. Sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang tertinggi, maka yang terlibat sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya Penguasa Legislatif dan Eksekutif, tetapi Penguasa Yudikatif.
Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif tercakup di dalamnya pengertian mengatur dan menentukan. Kekuasaan mengatur dan menentukan tersebut dilaksanakan oleh badan-badan legislatif Pusat, seperti MPR yang mengeluarkan ketentuan dalam bentuk penetapan, Pemerintah dengan persetujuan DPR mengeluarkan ketentuan dalam bentuk undang-undang. Presiden mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Keputusan Presiden dan Menteri yang berwenang di bidang pertanahan dalam bentuk Peraturan Menteri.
 Kekuasaan Eksekutif
Kekuasan eksekutif yang tercakup dalam pengertian menyelenggarakan dan menentukan dilakukan oleh Presiden dibantu oleh Menteri atau Pejabat Tinggi lain yang bertugas di bidang pertanahan. Kewenangan ini sebagian dapat ditugaskan pelaksanaannya kepada para pejabat Pusat yang bertugas d daerah dalam rangka dekonsentrasi.
 Kekuasaan Yudikatif |
Kekuasaan yudikatif bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa tanah, | baik di antara rakyat sendiri maupun di antara rakyat dan Pemerintah melalui ? Badan Peradilan Umum (UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum ! sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan Peradilan Tata Usaha \ Negara (UU No. 5 Tahun 1968 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004).
b.    Pemegang Haknya
Subjek dari hak menguasai dari negara atas tanah adalah Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.

c.   Tanah yang Dihaki
Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah dalam wilayah RI, baik tanah-tanah yang tidak atau belum, maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan yang oleh UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 37, 41, 43, dan 49).
d.   Terciptanya Hak Menguasai dari Negara
Hak menguasai dari negara merupakan tugas kewenangan bangsa Indonesia, yang dilakukan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada waktu menyusun UUD 1945 dan membentuk Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Oleh karena itu, Hak Menguasai dari negara sebagai lembaga hukum tercipta pada waktu diciptakan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
d.    Pembebanan Hak Menguasai Negara
Hak menguasai negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. Akan tetapi, tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang atau badan hukum, bukan berarti bahwa negara melepaskan Hak Menguasai Negara tersebut dari tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap berada dalam penguasaan negara. Negara tidak melepaskan kewenangannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UUPA terhadap tanah-tanah yang bersangkutan.
 e. Pelimpahan Pelaksanaannya kepada Pihak Lain
Hak menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat, pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Negara tersebut dapat juga dilakukan kepada apa yang disebut Badan-Badan Otorita dan perusahaan-perusahaan Negara dan perusahaan-perusahaan Daerah, dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan Hak Pengelolaan.
 Hak Menguasai dari Negara Tidak Akan Hapus
Hak Menguasai dari Negara sebagai pelimpahan Hak Bangsa, tidak akan hapus, selama Negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

3.   Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
a.   Sebutan dan Isinya
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan Hukum Adat yang berbahasa Belanda, mengikuti penamaannya oleh van Vollenhoven, lembaganya disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang termasuk kewenangan hukum publik. Unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak ulayat mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam dan ke luar. Ke dalam, berhubungan dengan para warganya. Sedangkan kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut ”orang asing” atau ”orang luar”.
Kekuatan hak ulayat berlaku ke dalam maksudnya bahwa para anggota masyarakat hukum adat mempunyai keleluasaan unuk membuka dan mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah masyarakat adatnya. Untuk membuka tanah, ia tidak diharuskan membayar sesuatu meskipun sebelum membuka tanah harus memberitahukan lebih dahulu pada sesepun adat. Tujuannya untuk menjaga agar tidak melahirkan konflik pertanahan dengan anggota masyarakat hukum adat yang lain.
Kekuatan hak ulayat berlaku ke luar berhubungan dengan orang asing. Yang dimaksud sebagai orang-orang asing artinya orang-orang bukan warga masyarakat hukum adat bersangkutan, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat adat, tanpa ijin penguasa adatnya. Untuk itu ia wajib memberikan kepada penguasa adatbarang sesuatu yang disebut pengisi adat. Karena orang-orang asing ini hanya boleh menguasai atau mengerakan tanah yang dibukanya itu selama satu panen saja, maka ijin yang diberikan penguasa adat hanya untuk menanam tanaman yang tidak memerlukan waktu lama untuk dipungut hasilnya.  Tanah yang telah dibukan itu dikuasainya dengan hak pakai.

b.    Pemegang Haknya
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang teritorial, karena para warganya bertempat tinggal di wilayah yang sama, seperti nagari di Minangkabau. Ada pula yang geneologis, yang para warganya terikat oleh pertalian darah, seperti suku dan kaum.

c.     Tanah yang Dihaki
Objek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan. Tidak selalu mudah untuk mengetahui secara pasti batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Dalam masyarakat geneologis, diketahui tanah yang mana termasuk tanah yang dipunyai bersama. Karena hak ulayat meliputi semua tanah, maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada "res nullius".
d.    Terciptanya Hak Ulayat
Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkret, pada asal mulanya dicip-takan oleh nenek moyang atau suatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Bagi sesuatu masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.

 Hak Ulayat dalam Hukum Tanah Nasional
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenaugan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hak ulayat yang pada kenyataannya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, dan juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas dan kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah rnenjadi tugas dan kewenangan Negara RI, sebagai kuasa dan petugas bangsa. Dalam kenyataannya hak ulayat kecenderungannya berkurang, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah ulayat yang dikuasainya. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melangsungkan keberadaannya.
            Kriteria yang dipergunakan untuk menyatakan bagi masih adanya hak ulayat di lingkungan kelompok warga masyarakat hukum adat tetentu itu tidak terdapat penjelasan yang tepat. Kiranya masih adanya hak ulayat diketahui dari kenyataan mengenai ;
1)      masih adanya suatu kelompok orang-orang yan merupaka warga suatu masyarakat hukum adat tertentu
2)      masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
3)      masih adanya kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari, sebagai pengemban tugas kewenanngan masyarakat hukum adatnya, mengelola, mengatur peruntukan, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut.

4. Hak Pengelolaan
a. Pengertian Hak Pengelolaan
Menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974, hak pengelolaan adalah hak atas tanah yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk:
a.          Merenca'nakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan
b.         Menggunakan tanah yang bersangkutan untuk keperluan pelaksanaan usaha
c.          Menyerahkan bagian tanah yang bersangkutan kepada pihak ketiga dengan hak pakai untuk jangka waktu 6 (enam) tahun
d.         Menerima uang pemasukan/ganti kerugian dan uang wajib tahunan.

Wewenang untuk menyerahkan tanah kepada pihak ketiga hanya terbatas pada:
a)      Tanah yang luasnya maksimum 1.000 meter persegi
b)      Warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Pemberian hak untuk yang pertama kali saja, dengan keten-tuan bahwa perubahan, perpanjangan dan penggatian hak tersebut akan dilakukan oleh instansi yang berwenang dan pada asasnya tidak mengurangi hak sewa yang diterima sebelumnya oleh pemegang.

b.  Dasar Hukum
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur, antara lain:
a)      Penjelasan Umum UUPA " Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman kepada tujuan yang disebutkan di atas, negara dapat mem-berikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keper-luannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (Departemen, Jawatan atau daerah Swatantera) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugas masing-masing (Pasal 2 Ay at 4)".
b)      Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara,
c)      Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelak­sanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan selanjutnya.
d)     Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk keperluan Perusahaan Hak Pengelolaan.
e)      Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaf-tarannya.

c. Subjek Hak Pengelolaan
Hak pengelolaan dapat diberikan kepada:
a)      Departemen, pemerintah daerah
b)      Badan-badan lain yang untuk melaksanakan tugasnya memer­lukan penguasaan tanah negara dengan wewenang seperti diuraikan di atas, misalnya otoritas pelabuhan.


B. Hak-hak Atas Tanah Yang Bersifat Privaat/ Individu
1. Hak Milik
a.        Pengertian Hak
Apa yang dimaksud dengan hak milik? Hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 berhubungan dengan Pasal 6 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Kata "Turun-temurun" menunjukkan bahwa hak tersebut dapat berlangsung terus selama pemilik masih hidup dan jika dia meninggal dunia, hak tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli waris. "Terkuat " menunjukkan bahwa kedudukan hak itu paling kuat jika dibandingkan dengan hak-hak atas tanah lainnya, karena terdaftar dan pemilik hak diberi tanda bukti hak (sertifikat), sehingga mudah dipertahankan terhadap pihak lain. Di samping itu, jangka waktu pemilikannya tidak terbatas. "Terpenuh" menunjukkan bahwa hak itu memberikan kepada pemiliknya wewenang paling luas, jika dibanding­kan dengan hak-hak atas tanah lainnya, tidak berinduk pada hak tanah lain, dan peruntukannya tidak terbatas selama tidak ada pembatasan dari pengusaha. Ini menunjukkan bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial. Sifat-sifat seperti ini tidak ada pada hak-hak atas tanah lainnya. Hak milik adalah hak atas tanah, karena itu maka tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk mengambil kekayaan alam tersebut diperlukan hak lain, yaitu Kuasa Pertambangan.
Ciri-ciri hak milik, adalah sebagai berikut:
1)      Hak milik merupakan hak atas tanah yang paling kuat artinya tidak mudah hapus serta mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain oleh karena itu maka Hak Milik termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan (Pasal 23 UUPA)
2)      Hak milik mempunyai jangka waktu yang tidak terbatas
3)      Terjadinya hak milik karena hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu juga bisa terjadi karena penetapan pemerintah atau ketentuan undang-undang (Pasal 22 UUPA)
4)      Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain melalui jual-beli, hibah, tukar- menukar, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut hukum adat dan lain-lain pemindahan hak yang bermaksud memindahkan hak milik yang pelaksanaannya diatur oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 20 Ayat (2) UUPA)
5)      Penggunaan hak milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 24 UUPA)
6)      Hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25 UUPA).

b.  Kewajiban Pemegang Hak Milik
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1998 jo. No. 6 Tahun 1998, penerima hak milik diwajibkan membayar uang pemasukan kepada negara yang besarnya dihitung menurut ketentuan dalam peraturan ini.

c.  Dasar Hukum
1)      UUPA Pasal 20 sampai dengan 27 UUPA dan Pasal I, Pasal II dan Pasal VIII dari ketentuan-ketentuan konversi.
2)      Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
3)      Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik.
4)      Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
5)      Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
6)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.
7)      Peraturan Menteri Negara Ag an Nasional No. 2 Tahun 1998 Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal  Pegawai Negeri dari Pemeritah
8)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan  Nasional No. 4 Tahun 1998 tenl Pemasukan dalam Pemberian Tahun 1998 tentang Perubah; Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pedoman Penetapan Uang Pemasukan dalam pemberian Hak Atas Tanah Negara
9)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan  Pemberian dan Pembatalan Keputusan Hak Atas Tanah Negara.
10)  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1999 tentang Penghentian Pungutan-pungutan Tertentu di Bidang Pertanahan.
11)  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

d.   Subjek Hak Milik
1)      Warga Negara Indonesia
2)      Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah mempunyai hak milik

Pada asasnya bahwa hak milik han' yang berkewarganegaraan Indonesia sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Menurut Hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai tanah dengan hak -, eigendom, baik ia warga negara maupun orang asing, demikian pula badan-badan hukum Indonesia atau Badan Hukum Asing.
Badan-badan hukum pada asasnya tidak dimungkinkan untuk mem­punyai tanah dengan hak milik, atas pertimbangan karena untuk menyelenggarakan usahanya badan hukum itu secara mutlak memer-lukan hak milik.. Keperluan badan-badan hukum dianggap sudah dapat dipenuhi dengan hak-hak lain, asalkan hak-hak itu menjamin penguasa-an dari penggunaan tanah selama jangka waktu yang cukup lama.
Sesuai dengan Pasal 49 Ay at (1) UUPA, yaitu badan-badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan dapat mempunyai hak milik atas tanah, sepanjang penggunaannya berhubungan dengan usaha sosial dan keagamaan adalah sebagai berikut:
Yang secara langsung dengan keagamaan adalah:
a.          Penggunaan dan peruntukan langsung sebagai tempat Ibadah/ Peribadatan (misalnya Masjid, Gereja, Pura, Vihara dll);
b.         Penggunaan dan peruntukannya benar-benar/langsung untuk syi'ar agama (misalnya Pondok Pesantren, dll)
Yang langsung berhubungan dengan Sosial adalah penggunaan dan peruntukan benar-benar untuk kegiatan mencari keuntungan semata-mata langsung untuk kegiatan sosial (nonprofit oriented) misalnya, Yayasan Yatim Piatu, Panti Jompo, dll).
Badan-badan hukum Keagamaan dan Sosial ini untuk meng-ajukan hak milik harus memenuhi persyaratan:
a.       Akta pendirian/Anggaran Rumah Tangga terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
b.      Pendaftaran dan Rekomendasi dari Departemen Agama RI, untuk badan-badan keagamaan
c.       Pendaftaran dan Rekomendasi dari Departemen Sosial RI, untuk badan-badan Sosial.

Badan-badan hukum yang dapat ditunjuk untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 adalah :
  1. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara)
  2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian
  3. Badan-badan Keagamaan yang ditunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar Menteri Agama
  4. Badan-badan Keagamaan yang ditunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial;

e. Terjadinya Hak Milik
1)      Hak Milik dapat terjadi menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
2)      Hak Milik dapat terjadi, karena:
a.       Ketentuan Undang-Undang
b.      Penetapan Pemerintah.

f. Hapusnya Hak Milik
Dalam Pasal 27 UUPA ditentukan bahwa hak milik atas tanah dapat dihapus, hilang, at,au terlepas dari yang berhak apabila tanahnya jatuh kepada Negara karena:
(1)   Pencabutan hak (Pasal 18)
(2)   Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
(3)   Ditelantarkan;
(4)   Jatuh kepada orang asing berkewarganegaraan rangkap (Pasal 26 Ayat (2) UUPA)
(5)   Tanahnya musnah.

2. HAK GUNA USAHA
a.  Pengertian Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, untuk perusahaan pertanian atau peternakan (Pasal 28 UUPA). Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha itu terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan dan perternakan. Pengertian Pertanian termasuk juga perkebunan dan perikanan. Oleh karena itu maka Hak Guna Usaha dapat dibebankan pada tanah hak milik.
Hak guna usaha termasuk hak atas tanah yang bukan bersumber pada hukum adat, melainkan atas tanah baru yang diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu lama. Menurut ketentuan Pasal 29 UUPA, jangka waktu paling lama 25 tahun, dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun. Jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaan. Berhubung jangka waktu itu paling lama, maka hak guna usaha tidak dimungkinkan pemberiannya oleh pemilik tanah. Alasannya adalah pemilik tanah akan terlalu lama terpisah dengan tanahnya. Lagi pula, pada tanah milik yang dikuasai oleh pihak lain itu berlaku kadaluarsa. Oleh karena itu, hak guna usaha hanya dimungkinkan atas tanah yang dikuasai negara.
Ciri-ciri hak guna usaha sebagai berikut:
(1)   Hak yang harus didaftarkan
(2)   Dapat beralih karena pewarisan
(3)   Mempunyai jangka waktu terbatas
(4)   Dapat dijadikan jaminan hutang
(5)   Dapat dialihkan kepada pihak lain
(6)   Dapat dilepaskan manjadi tanah negara.

Hak guna usaha dapat diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 (lima) ha. Jika luas tanah 25 ha atau lebih, harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman (Pasal 28 Ayat (2) UUPA). Maksud ketentuan ini adalah agar hak guna usaha dimanfaatkan tidak hanya oleh perusahaan besar, melainkan juga oleh perusahaaan yang tidak besar yang berusaha di bidang pertanian, perikanan, atau peternakan.
Usaha dalam bidang pertanian, perikanan, atau peternakan yang memerlukan tanah yang luasnya kurang dari 5 ha cukup diberikan dengan hak milik atau hak pakai. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 UU No. 56 Tahun 1960, maka hak guna usaha termasuk jenis hak atas tanah yang dikecualikan dari ketentuan luas batas maksimum pemilikan dan/atau pengusahaan tanah pertanian.

b.  Dasar Hukum
1.      Undang-undang No. 5 Tahun 1960
2.      Undang-undang No. 21 Tahun 1997 jo. No. 20 Tahun 2000;
3.      Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 (Pasal 9 -18)
4.      Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
5.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanah­an Nasional No. 4 Tahun 1998.
6.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanah­an Nasional No. 3 Tahun 1999.
7.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanah­an Nasional No. 9 Tahun 1999.

c. Objek Hak Guna Usaha
1.      Tanah negara (Pasal 28 UUPA jo. Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996);
2.      Apabila tanah yang dijadikan objek hak guna usaha tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi, maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan (Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996);
3.      Apabila tanah yang akan dijadikan objek hak guna usaha adalah tanah yang sudah mempunyai hak, maka hak tersebut harus dilepaskan terlebih dahulu (Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996);
4.      Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang keberadaannya berdasarkan atas hak yang ada, maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (Pasal 4 Ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
Dalam hal tanah yang dimohon adalah tanah ulayat, maka pemohon hak guna usaha harus mengadakan perjanjian dengan masyarakat hukum adat selaku pemegang hak ulayat mengenai penyerahan penggunaan tanah ulayat dimaksud untuk jangka waktu tertentu, sehingga apabila jangka waktu itu habis, atau tanahnya sudah tidak dipergunakan lagi atau diterlantarkan maka hak guna usaha itu hapus, dan penggunaan tanah selanjutnya harus mendapat persetujuan baru dari masyarakat adat setempat, hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999.

d.  Subjek Hak Guna Usaha
Subjek Hak Guna Usaha (Pasal 30 Ayat (1) UUPA, jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo. Pasal 17 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional 9 Tahun 1999:
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Badan hukurn yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Badan hukum bisa berbentuk badan hukum biasa, badan hukum berbentuk saham patungan yaitu perusahaan yang menggunakan modal asing, bisa juga badan hukum yang menggunakan modal dalam negeri.
Apabila pemegang Hak Guna Usaha tidak memenuhi syarat seba-gaimana tersebut di atas, jangka waktu satu tahun pemegang hak harus melepaskan haknya atau mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat, apabila tidak dilaksanakan, maka Hak Guna Bangunan tersebut batal dengan sendirinya.

e. Peralihan dan Pembebanan Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan, hal ini bisa dilaksana­kan melalui jual-beli, tukar-menukar, penyertaan modal, hibah dan pewarisan. Peralihan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama (Pasal 29 UUPA jo. Pasal 8 PP No. 40 Tahun l996).
Peralihan Hak Guna Usaha yang disebabkan jual-beli, harus dilaku-kan di hadapan Pejabat Pemerintah, hal ini diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 jo. Pasal 98 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 dan peralihan ini baru bisa dilakukan setelah ada izin peralihan dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional karena untuk Hak Guna Usaha dalam Surat Keputusannya ada Klausula di mana setiap perubahan atau peralihan Hak Guna Usaha harus mendapat izin dari Menteri. Di samping itu Hak Guna Usaha dapat dialihkan, juga dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, ketentuan mengenai pembebanan Hak Tanggungan ini diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996.

f.  Terjadinya Hak Guna Usaha
Terjadinya Hak Guna Usaha karena keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, adapun tata cara dan syarat permohonan pemberian Hak Guna Usaha (Pasal 6 dan 7 PP No. 40 Tahun 1996) lihat Bab tentang Tata Cara PeroJehan Hak Atas Tanah.
g.   Hapusnya Hak Guna Usaha
Menurut ketentuan Pasal 34 UUPA jo. Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996 hak guna usaha hapus karena:
1)      Jangka waktunya berakhir
2)      Dibatalkan haknya sebelum jangka waktu berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi; yaitu tidak terpenuhi kewajiban-kewajiban sebagai pemegang hak dan karena putusan peng-adilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3)      Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang hak sebelum jangka waktu berakhir
4)      Dicabut haknya untuk kepentingan umum
5)      Tanahnya ditelantarkan
6)      Tanahnya musnah
7)      Ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (2) UUPA: orang atau badan hukum yang mempunyai hak tidak lagi memenuhi syarat untuk mempunyai hak guna usaha.

3. Hak Guna Bangunan (HGB)
a.  Pengertian HGB
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah milik orang lain yang bukan miliknya sendiri (tanah negara atau tanah orang lain) dengan jangka waktu tertentu. Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan dan keadaan bangunannya, jangka waktu HGB dapat diperpanjang waktu paling lama 20 tahun.
Penggunaan tanah yang dipunyai dengan HGB adalah untuk men­dirikan bangunan-bangunan, meliputi bangunan rumah tempat tinggal, usaha perkantoran, pertokoan industri dan lain-lain.
Tanah yang dapat diberikan dengan HGB:
1. Tanah Negara
2. Tanah Hak Pengelolaan
3. Tanah Hak Milik.
HGB mempunyai ciri-ciri berikut ini:
(1)   Harus didaftarkan
(2)   Dapat beralih karena pewarisan
(3)   Jangka waktunya terbatas
(4)   Dapat dijadikanjaminan hutang
(5)   Dapat dialihkan kepada pihak lain
(6)   Dapat dilepaskan oleh pemegangnya.

Terjadinya HGB dapat diberikan atas tanah negara atau tanah milik perseorangan, karena:
1)      HGB atas tanah negara diberikan degan keputusan pemberian hak (penetapan pemerintah) oleh menteri atau pejabat yang
2)      ditunjuk
3)      HGB atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan yang kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan
4)      HGB atas tanah hak milik terjadi karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemegang hak milik dengan pihak yang memperoleh HGB dengan akta yang dibuat di hadapan Peraturan Pemerintah, bagi tanah milik perseorangan yang kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan.

Jangka waktu HGB adalah 30 tahun yang dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 25 Ayat (1), (2) atas permintaan yang bersangkutan, dan setelah jangka waktu perpanjangnya berakhir, maka kepada pemegang hak dapat diberi pembaruan HGB atas tanah yang sama (Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

b. Subjek HGB
Adapun yang dapat mempunyai HGB adalah:
1.            Warga Negara Indonesia
2.            Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika dalam waktu tersebut tidak diperhatikan/dilaksanakan, maka hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak pihak lain akan dipindahkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal seseorang mendapatkan wasiat HGB, sedangkan dia adalah warga negara asing, maka HGB tersebut tidak sekaligus hapus. Begitu juga seorang warga negara Indonesia yang mempunyai HGB, kemudian berubah menjadi warga negara asing (WNA), maka dalam waktu satu tahun harus diakhiri. Jika tidak diakhiri, maka hanya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara. Namun bagi yang bersangkutan dapat saja mengajukan permohonan hak sesuai dengan kedudukan subjek yang bersangkutan, misalnya dengan hak pakai.
Bagaimana jika ahli waris HGB adalah orang yang memenuhi syarat bersama-sama dengan orang yang tidak memenuhi syarat? Dalam keadaan demikian, maka dalam waktu satu tahun bagi yang tidak memenuhi syarat harus memindahkan/melepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. Apabila dalam waktu tersebut pemilikan pihak yang tidak memenuhi syarat tidak diakhiri, menurut Boedi Harsono (1970) bukan hanya bagiannya yang hapus, seluruh hak atas tanah menjadi hapus. Hal ini disebabkan oleh:
1)      HGB milik bersama tidak dapat ditentukan bagian tanah mana kepunyaan pihak yang memenuhi syarat, dan bagian mana pula kepunyaan pihak yang tidak memenuhi syarat.
2)      Apabila HGB tersebut tidak hapus, maka akan timbul keadaan seseorang yang tidak memenuhi syarat dapat terus mem­punyai HGB. Keadaan ini bertentangan dengan ketentuan HGB.
Namun demikian, pihak yang memenuhi syarat mempunyai prioritas untuk meminta kembali hak atas tanahnya melalui permohonan kepada instansi yang berwenang.

c. Hapusnya Hak Guna Bangunan
HGB dapat hapus karena hal-hal berikut ini:
(1)   Berakhirnya Jangka waktunya yang ditetapkan
(2)   Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang/pemegang hak pengelolaan/pemegang hak milik sebelum waktunya berakhir, karena:
a.          Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak;
b.         Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang
c.          dalam perjanjian penggunaan tanah hak milik atau Hak
d.         Pengelolaan;
e.          Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
f.          hukum tetap.
(3)   Dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya sebelum jangka waktu berakhir.
(4)   Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961.
(5)   Ditelantarkan.
(6)   Tanahnya musnah.
(7)   Ketentuan Pasal 36 Ayat (2) UUPA pemegangnya tidak memenuhi syarat dan dalam waktu satu tahun tidak mengakhiri penguasaan HGB.

4. Hak Pakai
a.  Pengertian Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, asal segala sesuatunya tidak ber-tentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
(1)   Penggunaan tanah bersifat sementara (tidak begitu lama).
(2)   Dapat diperjanjikan tidak jatuh kepada ahli waris.
(3)   Tidak dapat dijadikan jaminan hutang.
(4)   Dapat dialihkan dengan izin jika tanah negara, dimungkinkan oleh perjanjian jika tanah hak milik.
(5)   Dapat dilepaskan, sehingga kembali kepada negara atau pemilik.

b. Subjek yang dapat mempunyai Hak Pakai
Orang atau badan hukum yang dapat mempunyai Hak Pakai, adalah:
1)      Warga negara Indonesia
2)      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia ber-kedudukan di Indonesia
3)      Instansi pemerintah, Departemen dan Lembaga non Depar-temen dan pemerintah daerah
4)      Badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia
5)      Badan keagamaan dan sosial
6)      Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
7)      Perwakilan negara asing dan perwakilan badan hukum.


c. Jangka waktu Hak Pakai,
Jangka waktu untuk hak pakai adalah sebagai berikut:
1)      Diberikan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun atau selama Jangka waktu yang ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu;
2)      Dapat diperpanjang/diperbarui atas permohonan pemegang hak jika memenuhi syarat:
­          Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak; Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
­          Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai peme­gang hak.

d. Tanah yang dapat diberikan Hak Pakai
Tanah yang dapat diberikan Hak Pakai, adalah:
1)     Tanah negara
2)     Tanah hak pengelolaan
3)    Tanah hak milik

e.  Terjadinya Hak Pakai
Hak Pakai terjadinya karena sebagai berikut :
1)      Dengan keputusan pemeberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk
2)      Dengan keputusan pemeberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk tanah pengelolaan berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan
3)      Dengan pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Peraturan Pemerintah dan wajib di-daftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan dan mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftaran.

f. Peralihan Hak Pakai
Peralihan Hak Pakai dapat terjadi karena:
1)    Jual-beli
2)    Tukar-menukar
3)     Penyertaan dalam modal
4)     Hibah
5)    Pewarisan
g.  Hapusnya Hak Pakai
Hak pakai dapat hapus karena alasan-alasan berikut ini:
(1)   Jangka waktunya berakhir
(2)   Dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena suatu syarat yang tidak dipenuhi
(3)   Dilepaskan oleh pemegang hak
(4)   Dicabut untuk kepentingan umum
(5)   Tanahnya musnah.

Perlu dijelaskan bahwa mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah telah dikeluarkan PP No. 40 Tahun 1996. Dikeluarkannya peraturan ini karena dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak tersebut di atas seperti yang dimaksud dalam Bab II UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA.

5. HAK SEWA
a.  Pengertian Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk meng-gunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. UUPA membedakan hak sewa atas tanah menjadi dua macam, yaitu:
2.      Hak sewa untuk bangunan
3.      Hak sewa untuk tanah pertanian.
Hak sewa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Jangka waktunya terbatas
b)      Bersifat perseorangan
c)      Tidak boleh dialihkan tanpa izin
d)     Dapat diperjanjikan putus karena meninggal
e)      Tidak dapat dijadikan jaminan hutang
f)       Tidak putus karena pengalihan hak sewa
g)      Dapat dilepaskan oleh penyewa.

b. Subjek Hak Sewa
Mereka yang dapat menjadi subjek hak sewa adalah sebagai berikut:
1)      Warga negara Indonesia
2)      Warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia
3)      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan j berkedudukan di Indonesia
4)      Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indone­sia.

c. Hapusnya Hak Sewa
Hak sewa dapat hapus karena alasan-alasan berikut ini:
(1)   Jangka waktunya berakhir.
(2)   Dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi.
(3)   Dilepaskan oleh pemegang hak.
(4)   Dicabut untuk kepentingan umum.

6. Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Hak Atas  Tanah
A.    Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut "Hak Tanggungan" adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. (Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996).
Dengan kata lain Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutama­kan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersang-kutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

B. Sejarah Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya UUPApada tanggal 24 September 1960 dalam hukum kita dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah. Jika yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hypotheek, yang ketentuan hukum materiilnya diatur dalam Buku II KHPerdata Indonesia. Pemberian dan sekaligus pendaftarannya dilakukan menurut ketentuan Overschrijvings Ordonnantie (S.1934-27). Jika yang dijadikan jaminan adalah tanah yang berasal dari hak milik adat, lem­baga jaminan yang disediakan adalah Credietverband, yang ketentuan materiil, pemberian dan pendaftarannya diatur dalam S.1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan S.1937-190 jo. S.1937-191. Hypotheek dan Credietverband hanya dapat dibebankan atas tanah-tanah hak yang ditunjuk oleh undang-undang.
Selain hak-hak jaminan atas tanah tersebut di atas, yang ketentuan hukum materiil, pemberian dan pendaftarannya diatur dalam undang-undang, dikenal juga hak jaminan yang disebut fidusia atau "Fiduciaiare Eiigendoms Overdracht" yang hukum materiilnya merupakan hukum yang tidak tertulis. Fidusia ini pada zaman sebelum kemerdekaan banyak digunakan di daerah Medan dan sekitarnya dalam memperoleh kredit dengan tanah-tanah hak grant sebagai jaminannya. Dalam pemberian kredit tersebut tidak dapat digunakan lembaga hypotheek atau Credietverband, karena grant tidak termasuk hak yang oleh undang-undang ditunjuk sebagai hypotheek atau Credietver­band.
Dengan berlakunya UUPA maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, disediakan hak jaminan atas tanah baru, yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti dari lembaga hypotheek dan Credietverband, dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan sebagai objek yang dapat dibebaninya. Namun dalam 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya UUPA, lembaga Hak Tanggungan belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya karena belum adanya undang-undang yang mengatur secara lengkap sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 UUPA. Baru pada tanggal 18 Maret 1996, DPR telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1996 tanggal 9 April 1996.

C. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Sebagai dasar hukum pelaksanaan Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:
1)      UUPA Pasal 25, 33, 39 mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan sebagai objek Hak Tanggungan dan Pasal 51
2)      UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah
3)      PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.
5)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu. No. 4 Tahun 1996.
6)      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.

D.  Prinsip Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai empat ciri pokok, yaitu:
1.      Memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada kreditornya
2.      Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek itu berada, memenuhi asas spesialitas dan publisitas
3.      Mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya.

Di samping itu Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, yang berarti bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya dan penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut diper-janjikan secara tegas.
Pada hakekatnya Hak Tanggungan merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Dengan demikian maka keberadaan, peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Keberadaan Hak Tanggungan ditentukan melalui pemenuhan fata cara pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yakni tahap pernberiarj Hak Tanggungan dengan dibuatkannya akta pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (yang memuat substansi yang bersifat wajib dan janji-janji yang bersifat fakultatif) yang didahului dengan perjanjian pokok, yakni perjanjian utang piutang, dan tahap pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan yang menandakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Arti pentingnya pendaftaran Hak Tanggungan tampak sehubungan dengan mulainya kedudukan "preferent" bagi kreditor, penentuan peringkat Hak Tanggungan, dan berlakunya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.
Apabila beralih karena perbuatan hukum, peristiwa hukum, atau karena sebab-sebab lain, peralihannya harus dicatat oleh Kantor Pertanahan. Demikian pula apabila Hak Tanggungan hapus karena utang telah dilunasi atau sebab-sebab lain maka Kantor Pertanahan akan melakukan pencoretan atau "roya" catatan Hak Tanggungan tersebut.

E. Objek Hak Tanggungan
Untuk dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, termasuk Hak Tanggungan, benda yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat yang tersurat dan tersirat dalam UU Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pejelasan umum angka 5 dan pejelasan 4 Ayat (1) sebagai berikut:
1.      Dapat dinilai dengan uang, karena yang dijamin berupa uang.
2.      Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas.
3.      Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cidera janji benda yang dijadikan jaminan akan dijual di muka umum.
4.      Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.
Sehubungan dengan adanya persyaratan tersebut, yang merupakan objek Hak Tanggungan adalah sebagai yang disebut dalam Pasal 4 dihubungkan dengan Pasal 27 yaitu:
a.          Yang, ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 Ayat 1):
  1. Hak Milik
  2. Hak Guna Usaha
  3. Hak Guna Bangunan (Pasal 25, 33 dan 39 UUPA).
b.         Yang ditunjuk oleh UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27):
1.      Rumah susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh negara lain.
2.      Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang disebut di atas.

c.       Yang ditunjuk oleh UU Hak Tanggungan (Pasal 4 Ayat 2): Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah-tangankan. Hak Pakai yang dimaksudkan adalah Hak Pakai yang diberikan kepada perseorangan dan badan-badan hukum selama jangka waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usaha.

Tidak termasuk Hak Pakai yang dapat dijadikan objek Hak Tang­gungan adalah yang diberikan kepada instansi-instansi peme-rintah, pemerintah daerah, badan-badan keagamaan dan sosial serta per-wakilan negara asing, yang peruntukannya tertentu dan menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Hak Pakai tersebut semula tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena tidak ada penunjukannya dengan undang-undang. Karena menurut sifatnya dapat dipindah­tangankan dan termasuk hak yang didaftar, maka Hak Jaminan yang dapat dibebankan adalah fidusia (Undang-undang Rumah Susun Pasal 12 dan 13).
Selain objek-objek di atas Undang-undang Hak Tanggungan juga membuka kemungkinan membebankan tanah berikut atau tidak berikut bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Sebagaimana dimaklumi hukum tanah nasional kita didasarkan pada hukum adat yang dalam hubungannya dengan bangunan dan tanaman menggunakan asas pemisahan horisontal, menurut asas tersebut bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian tanah yang bersang-kutan. Maka perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan/atau tanaman yang ada di atasnya.
Dalam praktik tampak bahwa seringkali perbuatan hukum mengenai tanah dengan mengikutsertakan bangunan atau tanaman yang ada di atasnya. Praktik tersebut kenyataannya dibenarkan oleh hukum dan yurisprudensi. Dengan syarat, bahwa bangunan dan tanaman yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanah-nya (bangunan permanen dan tanamannya tanaman keras) dengan maksud mengikutsertakan bangunan dan/atau tanaman tersebut dinyatakan secara tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Praktik tersebut dikukuhkan oleh UU Hak Tanggungan dalam Pasal 4 Ayat (4), tanpa mengganti asas pemisahan horisontal dengan asas perlekatan atau asas accessie. Pengikutsertaan bangunan dan atau tanaman tersebut tetap tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

F.  Hubungan Objek Hak Tanggungan dan yang Membebaninya
Suatu objek dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan yang masing-masing menjamin pelunasan piutang yang berbeda, yang ditetapkan menurut tanggal pendaftarannya, yaitu tanggal pembu-kuannya oleh buku tanah di Kantor Pertanahan. Hak Tanggungan didaftarkan pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembukuan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Mungkin suatu objek dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan pada tanggal yang sama? Hal itu hanya terjadi kalau pemberiannya dilakukan di hadapan PPAT yang sama. Peringkat tiap-tiap Hak Tanggungan ditentukan menurut urutan nomor akta pemberiannya masing-masing. Peringkat Hak Tanggungan menentukan urutan pengambilan pelunasan piutang kreditor masing-masing dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Urutan peringkat tersebut penting dalam hubungannya dengan kemungkinan dilakukan-nya pembersihan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam keten-tuan Pasal 11 Ayat (2) huruf f, Pasal 18 Ayat (1) huruf c dan Ayat (3) serta Pasal 19.

G.  Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan terjadi apabila debitor cedera janji objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain.
Menurut ketentuan Pasal 20 Ayat (1) eksekusi dilakukan berdasarkan:
1.      Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 6 yang diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 Ayat (2) huruf e
2.      Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tang­gungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2)

Dalam hubungan utang-piutang yang dijamin ataupun yang tidak dij amin oleh Hak Tanggungan, jika debitor cedera janji eksekusi dapat dilakukan melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku.

7. Hak Tanggungan

a.                                                                                                      Pengertian Perwakafan
Perwakafan tanah adalah suatu perbuatan hukum suci, mulia dan terpuji, yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum laiannya, sesuai dengan ajaran agama Islam.
Fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat tanah yang diwakafkan, sesuai dengan tujuan wakaf yang bersangkutan. Dengan dijadikannya tanah hak milik menjadi wakaf, hak milik menjadi hapus, tetapi tanahnya tidak menjadi tanah negara, melainkan memperoleh status baru yang khusus sebagai tanah wakaf, yang diatur oleh hukum agama Islam.

b.      Dasar Hukum Perwakafan Tanah
Masalah tanah wakaf diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA yang menyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.  Pasal ini memberikan tempat yang khusus bagi hak-hak yang bersangkutan dengan kegiatan keagamaan. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa : ....pasal ini memberi ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, ddalam Hukuk Agraria yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
            UUPA memerintahkan pengaturan perwakaan tanah hak milik dengan Peraturan Pemerintah. Dan PP yang diamanatkan UUPA baru terbentuk pada tahaun 1977 yakni PP no. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

c.       Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Perwakafan Tanah
Dalam melakukan perwakafan tanah, beberapa pihak yang terlibat yakni orang yang mewakafkan tanah yang disebut dengan wakif. Syarat wakif adalah telah dewasa dan sehat akal pikirannya, serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum.
            Pihak kedua adalah orang yang dapat menadi pengurus wakaf yang disebut nadzir. Bisa perorangan yang memenuhi syarat yakni warga negara Indonesia dan beragama Islam. Bisa juga badan-badan hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia dan mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak tanah yang diwakafkan.
            Pelaksanan pewakafan tanah yang telah diatur secara hukum harus dilakukan di hadapan Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf, dengan cara mengucapkan ikrar wakaf yang disaksikan oleh 2 orang saksi.

d.      Tanah yang dapat Diwakafkan
Pasal 4 PP No. 28 Tahun 1977 disebutkan bahwa yang dapat diwakafkan adalah hanya terbatas pada tanh yang berstatus tanah hak milik, sebagai hak atas tanah yang berbeda dengan hak-hak atas tanah yang lain, secara hakikik tidak terbatas jangka waktunya. Tanah hak milik yang diwakafkan itu pun harus bebs dari segala bban ikatan, jaminan, sita dan sengketa.
Tanah wakaf menjadi obek pendaftara tanah, dalam arti tanah wakaf harus didaftarkan ke Kantor pertanahan Kabupaten/Kotamadya di mana wakaf tersebut dilakukan.  Apabila pencatatan di Kantor Pertanahan telah selesai, maka nadzir wajib melaporkan telah selesainya perwakafab tersebut kepada Kantor Departemen Agama.

e.       Perubahan Peruntukan dan Penggunaan Tanah Wakaf
Pada dasarnya tanh yang sudah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan dan penggunaannya menyimpang dari yang sudah ditentukan dalam ikrar wakaf. Namun dalam hal-hal tertentu, dengan persetujuan Menteri Agama,  dapat diadakan perubahan yaituorm:
1.      karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif
2.      karena kepentingan umum, seperti misalnya disebutkan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 36 Tahun 2007.


POKOK BAHASAN IV

KONVERSI  HAK ATAS  TANAH


Pengertian Konversi


Kata "konversi" berasal dari bahasa latin convertera yang ber-arti membalikan atau mengubah nama dengan pemberian nama baru atau sifat baru sehingga mempunyai isi dan makna yang baru.
Adapun istilah "konversi" menurut Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama4 ialah pengalihan, perubahan (pmzetting) dari suatu hak tertentu kepada suatu hak lain. Sedangkan menurut Dr. A.P. Parlindungan, S.H. Konversi5 secara umum dapat dikatakan penyesuaian atau perubahan, dari hak-hak yang diatur oleh peraturan lama disesuaikan dengan hak-hak yang baru.
Dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, maka hapuslah dualisme di dalam hukum pertanahan dan terselenggaralah suatu unifikasi di bidang hukum agraria, sekaligus terciptanya unifikasi hak-hak atas tanah yang diatur/ tunduk pada hukum agraria lama (hukum barat maupun hukum adat) dikonversikan menjadi salah satu hak menurut ketentuan UUPA(Pasal 16).
Pada dasarnya hak-hak atas tanah menurut peraturan perundang-undangan yang lama akan dikonversikan menjadi hak-hak yang baru menurut UUPA dengan memberi wewenang yang sama/hampir sama, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan konversi dalam bagian kedua, yaitu dari Pasal I sampai dengan Pasal IX.


B.    Dasar Hukum Konversi

Menurut ketentuan-ketentuan konversi Pasal I sampai dengan VII UUPA pada dasarnya menggantikan "mengubah" hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum adat dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata agar disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (Pasal 1 sampai dengan Pasal 58).
Pengertian konversi menurut UUPA dijadikan dasar untuk per-ubahan hak atas tanah daripada yang satu kepada yang lain, dari yang kuat pada yang lebih rendah atau kepada suatu hak yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku.
Ada 2 (dua) kelompok dalam ketentuan-ketentuan konversi UUPA, yakni:
a.          Konversi tanah hak adat.
        ior 30318 dikonversikan menjadi hak milik.
b.         Konversi tanah ex KUH Perdata.
Pasal I, III, V, VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, memuat hak-hak barat: hak eigendom, yang dibebani hak opstal dan erfpacht, hak-hak hypoteek, servituut, vruchtgebruik, (Pasal I); hak sewa dan concessi untuk perusahaan besar, (Pasal IV); hak opstal dan erfpacht untuk perumahan, (Pasal V).

C.  Tujuan Konversi


Tujuan daripada konversi adalah usaha-usaha untuk penataan kem-bali hak-hak atas tanah yang berasal dari hak-hak adat maupun hak-hak barat, dan untuk mengembalikan fungsi sosial atas pengusahaan tanah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 serta melenyapkan sistem barat. Pelenyapan ini terbukti dengan hampir semua tanah asal erfpacht, opstal dan eigendom yang tercipta karena sistem tersebut di atas tidak ditemukan yang diberikan kepada golongan pribumi, dan lebih dari 80 persen pemilik tanah bekas hak barat itu berada dalam tangan warga negara Indonesia keturunan asing.
Untuk maksud dan tujuan tersebut di atas maka Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan keputusan yaitu Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tanggal 8 Agustus 1979 tentang "Pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak-hak baru atas tanah asal konversi hak barat". Yang dalam Pasal 1 mengatakan; bahwa tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak barat yang jangka waktunya berakhir pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Ketentuan-ketentuan mengenai konversi dapat kita jumpai pada bagian kedua UUPA yang terdiri dari 9 (sembilan) pasal yang diberi notasi dengan angka romawi dan merupakan ketentuan-ketentuan pokok. Ketentuan-ketentuan mengenai konversi ini secara garis besar dibagi atas 2 (dua) bagian, sesuai dengan sumber hukum yang berlaku pada saat sebelum berlakunya UUPA, yakni:
1)            Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai konversi bekas hak-hak yang bersumber pada hukum perdata barat, seperti: hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal, hak vrucht-gebruik, hak gebruik dan lain sebagainya diatur dalam Pasal I sampai dengan VI ketentuan konversi UUPA. Sedangkan peraturan pelaksanaannya antara lain yaitu :”
a.       PMA No. 2 Tahun 1962 tanggal 1 Agustus 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah (TLN. No. 2508)
b.      SK. MDN No. 26/DDA/1970 tanggal 14 Mei 1970 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah
2)            Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai konversi bekas hak-hak yang bersumber pada hukum Indonesia asli atau hukum adat seperti misalnya: hak yasan, hak pesini, hak andarbeni, hak atas druwe, hak grand sultan dan lain sebagainya (Pasal II sampai dengan Pasal VII). Sedangkan peraturan pelaksanaannya antara lain, yaitu:
a.          PMANo. 2 Tahun 1960 tanggal 10 Oktober 1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan UUPA.
b.         PMA No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 Desember 1960 ten-tang Penambahan Ketentuan PMA No. 2 Tahun 1960 (TLN. No. 2142).
c.          PMA No. 13 Tahun 1961 tanggal 23 September 1961 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom dan Hak-hak lainnya yang aktanya belum diganti (TLN. No. 2345).
d.         PMA No. 7 Tahun 1965 tanggal 9 September 1965 ten­tang Pedoman Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom tersebut dalam Pasal I ketentuan konversi UUPA yang dibebani dengan hak opstal atau erfpacht untuk perumahan.
e.          PMDN No. 2 Tahun 1970 tanggal 14 Mei 1970 tentang Penyelesaian   Konversi Hak-hak Barat menjadi Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.
f.          SK. MDN No. 53/DDA/1070 tanggal 21 September 1970 tentang Perpanjangan Jangka Waktu Penyelesaian Konversi Hak-hak Barat menjadi Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha tersebut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1970.
Berbeda dengan proses konversi sebagian besar hak-hak Barat, yang jangka waktunya harus berakhir pada tanggal 24 September 1980, maka konversi terhadap hak-hak adat ini akan berlangsung terus-menerus tanpa batas waktu. Hal ini sesuai dengan makna dari konversi itu sendiri, yaitu konversi bukanlah suatu proses pemberian hak baru melainkan hanya merupakan suatu perubahan struktur lembaga hak-nya. Hak-hak Barat pada umumnya merupakan suatu pemberian hak yang sebagian besar mempunyai batas waktu tertentu. Sedangkan hak-hak adat adalah hak yang tumbuh dan berproses dalam jangka waktu yang panjang dalam kehidupan masyarakat hukum adat itu sendiri, tanpa batas waktu tertentu. Kalaupun terdapat batas waktu, maka batas waktu itu tidak ditentukan sebagaimana ditemui pada hak-hak barat, melainkan dapat berubah selama masih dipergunakan atau selama pemegang yang bersangkutan meninggal dunia maka haknya kembali kepada penguasaan masyarakat hukum adat setempat.

D.  Terjadinya Konversi

Pada prinsipnya konversi hak-hak lama menjadi hak baru sesuai dengan ketentuan UUPA, menurut ketentuan-ketentuan konversi, ter-jadinya konversi karena 3 (tiga) kemungkinan, yaitu:
1.      Konversi yang terjadi dengan sendirinya karena hukum.
Konversi seperti ini terjadi dengan sendirinya tanpa diperlukan tindakan dari suatu instansi baik yang bersifat konstitutif maupun deklaratoir. Misalnya, hak erfpacht untuk Perusahaan Kebun Besar, menurut Pasal III Ayat 1 Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA sejak tanggal 24 September 1960, dengan sendirinya menjadi hak guna usaha. Jangka waktunya pun sudah ditentukan selama sisa waktu hak erfpacht tersebut paling lama 20 tahun.
2.      Konversi yang terjadi setelah diperoleh suatu tindakan yang bersifat deklaratoir dari instansi yang berwenang.
Konversi jenis ini juga terjadi karena hukum, tetapi karena disertai syarat-syarat tertentu maka diperlukan suatu tindakan penegasan yang bersifat deklaratoir. Misalnya konversi hak eigendom menjadi hak milik, yang disertai syarat-syarat bahwa yang mempunyai pada tanggal 24 September 1960 harus memenuhi syarat sebagai pemilik. Dengan demikian maka untuk konversi hak eigendom menjadi hak milik diperlukan suatu penegasan deklaratoir bahwa syarat-syarat dipenuhi. Sama halnya konversi hak eigendom juga diperlukan suatu tindakan berupa penegasan, yang sifatnya deklaratoir, yaitu apakah men­jadi hak guna usaha atau hak guna bangunan. Dalam hal-hal di mana konversinya terjadi karena hukum sebagaimana yang dimaksud di atas, baik yang memerlukan mau-pun yang tidak memerlukan penegasan, maka menurut UUPA perubahan tersebut dianggap terjadi pada tanggal 24 September 1960, yaitu tanggal mulai berlakunya UUPA. Sekalipun pene­gasan dan pencatatannya bam dilakukan kemudian.
3.      Konversi yang terjadi melalui suatu tindakan yang bersifat konstitutif.
Pada jenis konversi ini, perubahan atas sesuatu hak yang baru bukan terjadi karena hukum, melainkan memerlukan suatu tin­dakan khusus yang bersifat konstitutif. Maksudnya ialah kemung-kinan untuk mengubah hak konsesi dan sewa untuk Perusahaan Kebun Besar menjadi HGU.
Menurut Pasal IV Ketentuan Konversi dalam UUPA disebutkan bahwa para pemegang hak konsesi dan sewa yang menghendakinya harus mengajukan permohonan pada menteri agraria, agar haknya diubah menjadi HGU dan hak tersebut akan diperoleh dengan suatu ketetapan yang bersifat konstitutif. Apabila permintaan tersebut ditolak atau diterima tetapi pemohon tidak bersedia memenuhi syarat-syarat yang ditentukan menteri agraria, maka konsesi tersebut berlangsung selama sisa waktunya, tetapi paling lama 5 (lima) tahun sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
Bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat atau yang dikenal dengan istilah bekas hak Adat, setelah berlakunya UUPA harus dikonversikan menjadi salah satu hak baru sesuai dengan yang diatur dalam UUPA. Dalam hal ini diperlukan suatu tindakan penegasan hak atas tanah itu sebelum tahun 1960.
Dalam Pasal II Ketentuan Konversi UUPA diatur mengenai konversi tanah-tanah bekas hak Indonesia sebagai berikut:
a)      Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (1) yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu: Hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand sultan, landerijen bezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apa pun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik ter­sebut dalam Pasal 20 Ayat (1), jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
b)      Hak-hak tersebut dalam Ayat 1 kepunyaan orang asing dan warga negara yang di samping berkewarganegaraan Indo­nesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hokum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 Ay at (3) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Dari Pasal II ketentuan konversi tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak yang member! wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak itu, memungkinkan untuk terjadi:
a.          Hak milik apabila pada tanggal 24 September 1960 dipunyai oleh orang yang berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
b.         Kalau syarat tersebut tidak dipunyai maka konversinya men­jadi hak guna usaha atau hak guna bangunan tergantung pada peruntukan tanahnya.

                     Dalam Pasal 14 PMA No. 2 Tahun 1960 menegaskan, jika tanah­nya merupakan tanah perumahan, konversinya menjadi hak guna bangunan, sedangkan kalau tanahnya tanah pertanian maka dikonversi-kan menjadi hak guna usaha. Disebutkan pula bahwa hak guna bangunan maupun hak guna usaha jangka waktunya 20 tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UUPA.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka teranglah bahwa untuk mengkonversikan hak-hak yang tersebut dalam Pasal II ketentuan konversi itu diperlukan tindakan penegasan, yaitu:
a.       Mengenai yang mempunyai (subjek), untuk memperoleh kepastian hukum apakah akan dikonversi menjadi hak milik atau hak lain
b.      Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata konversinya tidak menjadi hak milik.


E. Pelaksanaan Konversi

Pelaksanaan konversi hak atas tanah secara garis besar diuraikan sebagai berikut:
1.      Hak eigendom, Hak eigendom dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat yang tersebut ketentuan Pasal 21 UUPA;
a.          Hak eigendom kepunyaan pemerintah asing yang digunakan untuk rumah kediaman kepada perwakilan dan gedung kedutaan menjadi hak pakai (Pasal 41 Ayat (1) UUPA), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan itu.
b.         Hak eigendom kepunyaan orang asing, orang yang berke-warganegaraan rangkap dan badan-badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam keten­tuan Pasal 21 Ayat (2) UUPA, menjadi hak guna bangunan sesuai ketentuan Pasal 35 Ayat ((1) UUPA dengan jangka waktu 20 tahun.
c.          Jika hak eigendom dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu menjadi hak guna bangunan (Pasal 35 Ayat (1), membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau erfpacht tetapi selama-lamanya 20 tahun.
d.         Hak-hak hypotheek, servitut, vruchtgebrulk dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bagunan.

2.            Hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud Pasal 20 Ayat (1), yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbrni, hak atau druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijen bezitrecht, altijdduren erfpacht, hak-hak atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apa pun juga yang akan ditetaskan lebih lanjut oleh menteri agraria menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 Ay at (1), kecuali jika yang mempuny ai tidak memenuhi syarat.
Bahwa hak-hak tersebut di atas yang dipunyai orang asing, or­ang yang berkewarganegaraan rangkap dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya.
3.            Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar dan pertanian kecil dikonversikan menjadi hak guna usaha diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun dan bahwa hak erfpacht untuk pertanian kecil hapus.
4.            Hak consessi dan sewa untuk kebun besar, dalam jangka waktu satu tahun harus mengajukan permintaan kepada menteri agraria, agar haknya dikonversi menjadi hak guna usaha.
5.            Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, dikonversi menj adi hak guna bangunan yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
6.            Hak-hak atas tanah memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 Ayat (1), seperti hak vruchtgebruik, gebruik, gran controleur, bruikleen, gengam bauntuik, anggaduh, bengkok, lunguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apa pun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri agraria menjadi hak pakai sebagaimana dimaksud dalani Pasa) 4J Ayat (1), yang berwenang berkewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.
7.            Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersigat tetap dan tidak tetap. Untuk hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap dikonversikan menjadi hak milik, sedangkan yang bersifat tidak tetap menjadi hak pakai. Bahwa dalam hal ada keraguan mengenai sifat tetap atau tidak tetap akan diputuskan oleh Menteri Agraria.
















POKOK BAHASAN V
PENCABUTAN DAN PENGADAAN TANAH


Pencabutan hak atas tanah sebenarnya dapat kita tinjau dalam kaitannya dengan fungsi sosial dari tanah yang diatur dalam psl 6 UUPA, yaitu bahwa pada hak – hak perorangan terdapat hak dari masyarakat, sehingga kalau di suat massa kepentingan dari masyarakat lebih tinggi, maka kepentingan perseorangan harus mengalah.
Dalam memori penjelasan psl 18 UUPA hanya menyebutkan Jaminan bagi rakyat mengena Hak – haknya atas tanah.Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat – syarat.  Dalam Psl 18 UUPA,  dinyatakan :
a.       Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, merupakan syarat pertama dan utama dalam pencabutan hak
b.      Hak – hak atas tanah dapat dicabut. dengan pencabutan hak ini maka terjadilah  tindakan sepihak yaitu dari yang mencabu engan suatu ketetapan sepihaknya.
c.       Mendapatkan ganti rugi yang layak Ganti rugi, baik berupa uang ataupun fasilitas lainnya ataupun pemukiman kembali. Layak haruslah yang objektif dan harga dasar adalah berdasarkan penetapan pemerinah daerah menurut klasemennya, bukan harga menurut orang yang dicabut haknya ataupun sekadar diberi uang pindah atau pesangon dan sebagainya.

d.      Dengan cara yang diatur dengan Undang – Undang. Dengan cara diatur Undang – Undang, yaitu Undang – Undang No. 20 tahun 1961, sedangkan peraturan pelaksananya Inpres No.9 tahun 1973, PMDN No.15 tahun 1975 dan PMDN No.2 tahun 1985, tidak berjalan efektif dan dicabut diganti dengan KEPPRES No.55 tahun 1993, kemudian dicabut diganti dengan Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005.
Dalam Keppres No.55 tahun 1993, tidak dikenal lagi istilah pembebasan tanah, telah diganti dengan istilah pengadaan tanah yaitu setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Prosedur yang harus ditempuh adalah dengan cara     pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yaitu Kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Pengadaan tanah yang diatur dalam Keppres No. 55 ahun 1993, semata – mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, yang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan cara pelepasan hak. Dalam KEPPRES No. 55 tahun 1993 tidak merumuskan secara pasti tentang apa yang dimaksud kepentingan umum, tetapi hanya menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda – benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti keugian dapat berupa uang, taah pengganti, pemukiman kembali, kombinasi dari tiga bentuk kompensasi di atas atau bentuk lain yang disetujui oleh pihak – pihak yang bersangkutan( Psl 13 Keppres No. 55 tahun 1993), keppres ini melakukan terobosan di bandingkan dengan UU no.20 tahun 1961, bentuk ganti kerugian tidak dinyatakan secara jelas dalam pasa – pasalnya tetapi di dalam penjelasannya hanya disebutkan bentuk ganti kerugian berupa uang yang nilainya ditetapkan berdasarkan harga yang nyata .
Keppres No. 55 tahun 1993 tidak dapat digunakan untuk kepentngan Badan Hukum Swasta, tetapi dalam implementasinya pihak swasta selalu berlindung di balik kepentingan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, Prinsip Kepentingan Umum, Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, 2007, Sinar Grafika, Jakarta.
A.P , Perlindungan, Komentar  atas Undang – Undang Pokok Agraria, 1993, Mandar Maju, Bandung.
A.P.Parlindungan, Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, 1993 Mandar Maju, Bandung.










POKOK BAHASAN VI

PENDAFTARAN TANAH



Undang – Undang N0.5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok – Pokok Agraria, merupakan pelaksanaan psl 33 (3) UUD 1945. Sebelum berlakunya UUPA, hanya bagi tanah – tanah yang unduk pada Hukum Barat, misalnya Hak Eigendom, Hak Erpacht, Hak Opstal dilakukan pendaftaran tanah yang tujuannya untuk memberian jaminan kepastian hukumdan kepada pemegangnya diberikan tanda bukti dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Balik Nama.
Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Recht Kadaster, adapun bagi tanah – tanah yang tunduk pada hukum Adat, misalnya tanah Yasan, tanah gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan pendaftaran tanah tujuannya bukan untuk memberikan jaminn kepastian hukum, akan tetpi tujannya untuk menentukan siapa yang wajib untuk membayar pajak atas tanah dan kepada pembayar pjaknya diberikan tanda bukti berupa pipil,girik ataupun petuk, pendaftaran tanah ini dikenal denganFiscal Kadaster.

A. Tujuan  dan Azas – azas Pendaftaran Tanah.

Menurut Rudolf, Pendaftaran Tanah ( Kadaster) adalah “ Pendaftaran atau pembukuan bidang – bidang tanah dalam daftar – daftar, berdasarkan Pengukuran dan pemetaan yangseksama dari bidang – bidang itu ( H.Ali Achmad Chomzah, 2004, 1 )
Menurut Pasal 1(1) Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997, Pendaftaran Tanah adalah Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terusmenerus, berkesinambungan dan teratur, meliput pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan datafisik dan data Yridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang – bidang tanah dan satuan – satuan rumah susun, temasuk pemberian surattanda bukti haknya bagi bidang – bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satan rumah susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.
Jadi secara singkat. Kadaster dapat dirumukan sebagai Pengukuran, Pemetaan dan Pembukuan Tanah, seperti dirumuskan dalam psl 19(2) sub a UUPA. Untuk dapat disebut suatu adaster, haruslah tanah yang memenuhi unsur – unsur :
a.  Pendaftaran atau Pembukuan bidang – bidang tanah yangterletak di suatu daerah/ negara di dalam daftar – daftar.
b.Pengukuran atau Pembukuan bidang – bidang tanah.
Pendaftaran atau pembukuan bidang –bidang tanah dalam daftar- daftar merpakan bagian Administrasi dari kadaster yang disebut Pembukuan Tanah. Sedangkan Pengukuran dan Pemetaan Bidang – bidan tanah merupakan teknis dari Kadaster.
Dalam Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah menyebutkan:bahwa yang dimaksud dengan Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi prngumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta peeliharaan data fiikdan data Yuridis dalam bentuk Peta dan Daftar mengenai bidang – bidang tanah an satuan – satan rumahsusun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang –bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milikatas satuan rumah susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran hak atas tanah dalam Pasal 19(2)sub b UUPA membedakan 2 tugas dan wewenang d bidang pertanahaan yaitu :

1.      Pendaftaran hak Atas tanah.
Adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah.
Cara pendaftaran Hak tersebut ada 3 yaitu :
a.       Pendaftaran hak di desa – desa lengkap, yaitu desa  desa yang telh dilakukan pengukuran des demi desa.
b.      Pendaftaran Hak atas tanah pada desa – desa yang belum lengkap, yaitu desa – desa yang belum diselenggarakan pengukran desa demi desa.
c.       Pendaftaran hak atas tanah atas permohonan si pemegang hak  sendiri.


2.      Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah.
Dalam Passl 19 PP No.10 tahun 1961 menyebutkan:”Setiap perjanjian yang bermaksud,memindahkan Hak Atas tanah, memberikan sesuatu Hak baru, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan Hak Atas tanah sebagai tanggungannya harus dibuktikan dengansuatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri agraria”.
Sedangkan tujuan dari pendahtaran tanah, yang diaur dalam psl 3 PP No.24 tahun 1997, adalah :
1.Untuk menjamin Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum, baik kepada orang atau badan Hukm yang menjadi pemegang Hak Atas Tanah.
2.Menyediakan Informasi tentang tanah dan kepastian mengenai objek Hak tentang, letaknya, batas – batasnya    , luasnya dan dibebani dengan hak apa.
3.Terselengaranya Tertib Administrasi Pertanahan.
Sedangkan azas – azas Pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 2 PP No.24 tahun 1997 menyebut :
1.Azas Sederhana, maksudnya adalah agar ketentuan – ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dipahami oleh pihak – pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegng hak Atas Tanah.
2.Azas Aman, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwapendaftaran tanah perlu diselengarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian Hukum, sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3.Azas terjangkau, maksudnya keterjangkauan bagi pihak – pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebtuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.
4.Azas Mutakhir, maksudnya menentukan data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di kantor Pertanahan selalu sesuai degan keadaan nyata di lapangan.
5.Azas terbuka, maksudnya data yang tersimpan di kantor Pertanahan, masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.

Soal – Soal Ujian
-          Jelaskan tujuan dari pendaftaran tanah.
-          Jelaskan azas – azas dari pendaftaran tanah.
B.     Pengaturan Pendaftaran Tanah, Sistim Pendaftaran Tanah serta Prinsip – Prinsip Pendaftaran Tanah.

1. Pengaturan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak – hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah , terdapatlah jaminan Tertib Hukum dan kepastian Hukum dari tanah.
Sesuai dengan tujuan Pendaftaran tanah maka Undang – Undang Pokok Agraria, menghendaki agar untuk pendaftaran tanah, diwajibkan kepada para pemegang hak     (H.Ali Achmad Chomzah, 2004 :6)
Pendaftaran tanah, adalah pendaftaran Hukum ( Recht Kadaster ), hal ini dapat kita lihat dalam psl 19 UUPA, kewajiban Pemerintah atas perintah Undang – Undang akan tetapi Pemerintah keterbatasan terhadap dana, tenaga dan alat, maka kewajiaban pendaftaran tanah dibebankan kepada pemegang hak demi menjamin Kepastian Hukum ( Psl 23, Psl 32 dan Psl 38 UUPA)
Apa yang telah diperintahkan Psl 19(1) UUPA oleh pemerintah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961, yang kemudian ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 ditegaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a.       Untuk memberikan kepastian Hukum dan perlindungan Hukum kepada pemegang Hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak – hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak – pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang – bidang tanah dan satuan – satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c.       Untuk menyelenggarakan tertib administrasi pertanahan.
Jelaslah Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 yang sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, telah memperkaya ketentuan Psl 19 UUPA yaitu :
a.       Bahwa diterbitkannya Sertifikat Hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum.
b.      Di zaman Informasi ini maka Kantor petanahan sebagai Kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah baik untu Pemerintah sendiri sehingga dapat merecanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait dengan tanah.
c.       Untuk itu diperlukan tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar.
Sebenarnya pada masa sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, di beberapa daerah pernah diselenggarakan pendaftaran tanah untuk tujuan Fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti juga sebagai bersifat Yuridis.Pendaftaran tanah ini ada yang didasarkan pada Hukum adat setempat, ada yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat, ada pula yang didasarkan pada Peraturan Yang bersifat Nasional. Misalnya :
a.       Pendaftaran yang diselenggarakan oleh kantor Pajak  Hasil Bumi ( Land Rente) sekalipun pendaftaran yang dilakukan bersifat administratif sesuai dengan peraturan yang bersangkutan.
b.      Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh pengurus Subak di Bali berdasarkan Hukum Adat Setempat.
c.       Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Gemeente Medan
d.      Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di daerah istimewa  Yokyakarta berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yokyakarta.

2. Sistem Pendaftaran Tanah.
Sistem Pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada azas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.
Apabila dilihat dari aspek Jaminan yang diberikan dengan pemberian surat – surat tanda bukti hak aas tanah ( Sertifikat hak Atas tanah), sebgai alat pembuktian, maka Recht Kadaster (Pendaftaran tanah) mengenal 2 macam Sistem ( H.Ali Achamad Chomzah,2004:15).
2 macam sistem Pendaftaran tanah tersebut yaitu :
a.       Sistem Negatif, yaitu suatu sistem bahwa kepada si pemilk taah ini, diberikan jaminan lebih kuat, apabila dibandingkan perlinungan yang dibeikan kepada pihak ketiga.
b.      Sistem Positif, yaitu suatu sistem dimana kepada yang memperoleh Hak Atas tanah ini akan diberikan jaminan lebih kuat.
Menurut Muntoha, mantan Kepala Jawatan Pendaftaran tanah, Departemen Agraria, menyatakan bahwa sistem pendaftaran tanah du indonesia yang dianut sekarang ini dalah sistem Negatif dengan tendens – tedens positif.
Dengan sistem ini, keterangan – keterangan yang ada itu apabila ternyata tidak benar maka dapat diubah dan dibetulkan. Sistem ini dapat juga disebut Quasi Positif ( positif yang semu)..
Adapun ciri – ciri sistem Quasi Positif adalah :
a.       Nama yang tercantum di dalam buku tanah, adalah pemiik tanah yang benar dan dilindngi oleh hukum. Sertifikat adalah tanda bukti hak yang terkuat, bukanya mutlak.
b.      Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur dan penelitian yang seksama dan memenuhi syarat – syarat keterbukaan.
c.       Setiap persil batas diukur an digambar dengan Peta Pendaftaran Tanah, dengan skala 1 : 1000, ukuran mana yang memungkinkan unuk dapat dilhat kembali batas persil, apabila di kemudia hari terdapat sengketa batas.
d.      Pemilik tanah yang tercantum dala buku tanah dan sertifikat dapat dicabut melalui proses Keputusan Pengadilan negeri atau dibatalkan oleh kepala Badan Pertanahan nasional, apabila terdapat cacat hukum.
e.       Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembayaan ganti rugi pada masyarakat, karena kesalahan administrasi Pendaftaran Tanah, melainkan masyarakatsendiri yang merasa dirugikan melalui proses peradilan untuk memperoleh haknya.

3. Prinsip – Prinsip Pendaftaran Tanah.
a.                   Torrens System
b.                  Asas Negatif
c.                   Asas Publisitas
d.                  Asas Spesialitas
e.                   Recht Kadaster
f.                   Kepastian Hukum
g.                  Pemastian Lembaga.

Ad.a. Torerens System.
Di Indonesia setelah berlakunya UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, mempergunakan sistem Torrens, sistem ini selain sederhana , efisien dan murah dan selalu dapat diteliti pada akta pejabatnya, siapa – siapa yang bertanda tanagan dan pada sertifikat hak atas tanahnya, setiap mutasi diketahui karena pada sertifikat tanah jika terjadi mutasi maka nama yang sebelumnya dicoret dengan tinta halus, sehingga masih terbaca dan pada bagian bawahnya tertulis nama pemiik yang baru disertai dengan dasar hukumnya.
Keuntungan sistem Torrens adalah sebagai berikut:
a.       Menetapkan biaya – biaya yang tak diduga sebelumnya
b.      Meniadakan pemeriksaan yang berulang – ukang.
c.       Meniadakan kebanyakan rekaman data pertanahan.
d.      Secara tegas menyatakandasar hukumnya.
e.       Melindungi terhadap kesulitan – kesulitan yang tidak tercantum dalam sertifikat
f.       Meniadakan pemalsuan.
g.      Tetap memelihara sistem tersebut, karena pemeliharaan sistem tersebut dibebankan kepada mereka yang memperoleh manfaat dari sistem tersebut.
h.      Meniadakan alas hak pajak.
i.        Dijamin oleh negara tanpa batas ( Adrian Sutedi, 2007: 119)

Ad. b. Asas Negatif
Artinya belum tentu seseorang yang telah tertulis namanya pada sertifikat adalah mutlak sebagai pemiliknya.. Oleh karena itulah sebagaimana tersebut dalam psl 23(2), psl 32(2) dan psl 38(2)UUPS bahwa pendaftaran tanah itu merupakan alat pembuktian yang kuat dan tidak tertulis sebagai satu – satunya alat pembuktian.
Pengertian negatif tidak berarti Kantor Pendaftaran tanah akan gegabah saja menerima permohonan pendaftaran tanah tetapi selalu harus melalui suatu pemeriksaan yang disebut Panitia A, sehingga kadangkala pendaftaran di Indonesia sekarang ini adalah pendaftaran yang negatif bertendensi positif.
Ad.c. asas Publisitas
Bahwa pendaftaran itu bersifat umum dan terbuka. Oleh karena itu setiap orang berhak untuk meminta surat keterangan Pendaftaran tanah yang berisikan jenis hak, luas,lokasinya, dalam keadaan sita atau berpekara dan sebagainya.Lebih tepatnya disebut surat keterangan Informasi tanah.
Dikatakan bersifat umum, maksudnya dia berlaku terhadap pihak ketiga tentang telah didaftarkannya hak tersebut dan diberikan perlindungan hukum.

Ad.d. asas Spesialitas.
Bahwa pendaftaran itu jelas dan diketahui lokasinya, sehingga peranan dari surat ukur adalah memperjelas lokasi dari tanah tersebut.

Ad.e. Recht Kadaster.
Adalah suatu bentuk kadaster yang dientuk dengan tjuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum atas tanah. Didalam lalulintas hukum ( Rechtsverkeer) mengenai hak – hak atas tanah, selalu timbul dua pertanyaan  yaitu :
a.       Siapakah yang menjadi Pemegang Hak yang sebenarnya.
b.      Berapa luas tanahnya, dimana letakya serta batas – batas bidang tanah yang bersangkutan.
Guna menjawab kedua pertanyaan diatas maka pemerintah membentuk suatu badan atau Lembaga Hukum yang bertugas memberi jawaban atas kedua pertanyaan dimaksud. Dengan kata lain, badan atau lembaga hukum tersebut bertugas menjawab kepastian hukum mengenai :
a.       Subjek hukum, yaitu si Pemegang hak.
b.      Objek Hukum atas tanah, yaitu tanahnya sendiri, dengan menguraikan dimana letak, batas – batasnya dan luasnya.

Ad. g. Pemastian Lembaga..
Sesuai dengan PP no. 10 tahun 1961 dan PP No.24 tahun 1997, maka ditimbulkan Lembaga Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT) sebagai satu – satunya pejbat yang berwenang untuk membuat akta eralihan, pendirian hak baru, dan pengikatan tanah sebagai jaminan (Recording of deeds of coveyance) dan kemudian ada pejabat sau – astunya secara khusus untuk melakukan pendaftaran tanah( Recording oftitle & continuous recording )




                                                                                   
C. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Dan Objek Pendaftaran Tanah.


1. Pembukuan Hak.
Dalam rangka Pendaftaran dan Pendaftran Peralihan hak, maka PP.No.10 tahun 1961 dan PP No.24 tahun 1997, mengharuskan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota c.q. Seksi pendaftaran Tanah setempat untuk membuat 4 macam daftar yaitu :
1.      Daftar nama.
2.      Daftar Tanah
3.      Daftar Bukan tanah
4.      Daftar Surat ukur.
Mewajibkan kepada Kepala kantor Pertanahan kabupaten/Kota setempat, c.q. Seksi Pendaftaran tanahuntuk :
1.      Menyimpan semua surat otentik.
2.      Surat – surat Keputusan Pemberian hak Atas Tanah.
3.      Warkah – warkah lain yang diterimanya.
Dalam rangka penertiban lalulintas Pendaftaran tanah di Indonesia dan guna menjamin Hukumdan Hak atas Tanah, dilakukan Pebukuan Tanah, yaitu Penyelenggaraan tata usaha di bidang pendaftaran tanah.
Bentuk dan cara mengisi Daftar Nama, Daftar Tanah, Daftar Buku Tanah, dan Daftar Surat Ukur.
1.      Daftar Nama, dalam daftar ini dicatat nama semua orang yang mempunyai hak atas tnah yang penyusunannya dibuat menurut abjad dan prkabupaten.Sehingga dapat diketahui Hak – Hak apa saja, berapa luasnya dan dimana tanah yang dimilikinya oleh orang  yang brsangkutan.
2.      Daftaran Nama, disusun perdesa sehingga masing – masing mempunya daftar tanah sendiri – sendiri.Dalam daftar ini dicatat :
a.     Nomor Pendaftran
b.    Nomor Lembar dan Kotak, dimana bidang tersebut terletak padapeta.
c.     Luas Tanah
d.    Macam – macam hak beserta nomornya.
e.     Nomor dan Tahun Surat.
3.      daftar Buku Tanah, adalah kumpulan buku tanah yang dijilid menjadi satu, yang penyusunannya dilakukan setiap desa dan hak untuk satu bukutanah.
Dalam daftar buku tanah yang dicatat adalah :
a.     Nomor dan macam hak
b.    Nama Pemilik.
c.     Luas Tanah
d.    Tanggal dan Surat Keputusan Peralihan Hak
e.     Tangal Pembukuan
f.     Nomor dan tahun surat Ukur.
 Buku Tanah akan dipergunakan untuk mencatat: Hak – hak atas tanah, Perubahan atau peralihan hak atas tanh, pembebanan diatas hak itu.
4.      Daftar Surat Ukur., adalah kumpulan dari kutipan peta pendaftaran tanah yang penyusunannya dilakukan perdesadan pertahun yang dijilid.
Setiap surat ukur hanya menggambarkan satu bidang tanah hak, dengan uraian batas – batas bidang tanh. Keterangan yang dicatat dalam daftar surat ukur mengenai sesuatu bidang tanah antaralain;
a.       Uraian batasnya.
b.      Luasnya
c.       Gambarnya, dimana dicantumkan ukuran – ukuran batasnya.

2. Pendaftaran peralihan dan pembebanannya
 Psl 19 PP No.10 tahun 1961 Jo Psl 37 PP No.24 tahun 1997, menyebutkan: Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, membrikan suatu hak baru, manggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungannya haus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang itunjuk oleh Menteri Agraria”. Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria
Pembuatan akta diharuskan dihadapan pejabat yang ditunjuk, hal ini diantaranya :
1.      Agar segala sesuatu yang telah terdaftar pada Datar Bukun akan tetap sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
2.      Fungsi pendataran tanah, dalam hal menjamin kepastian hukum tidak akan hilang.
3.      Tanda bukti yang diterbitkan akan tetap merupakan alat pembuktan yang kuat.
Pejabat didalam memuat akta tersebut terikat oleh beberapa syarat yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah yang disesuaikan dengan sudah atau belumnya tanah tersebut dibukukan.
Pendaftaran Peralihan Hak dan pembebanan hak diatur dalam psl 37 sampai dengan psl 45 Peraturan Pemeritah No. 24 tahun 1997.
Sedangkan objek pendafaran tanahyang diatur dalam psl 19 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 adalah sebagai berikut :
a.       Bidang – bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan dan hak pakai.
b.      Tanah hak pengelolaan.
c.       Tanah Wakaf.
d.      Hak milik atas satuan Rumah susun.
e.       Hak tanggungan
f.       Tanah Negara.
Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah , pendaftarannya dilakukan denga cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.


C. Jenis – jenis Sertifikat hak atas tanah.
1.      Sertifikat, adalah surat tanda bukti hak yang terdiri dari salinan Buku Tanah dan surat ukur diberi sampul dan di jilid menjadi satu, menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional.
2.      Serifikat sementara, adalah surat tanda bukti hak, yang terdiri salinan buku tanah dan gambar situasi. Diberi sampul dan dijilid menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan.
Sertifikat sementara ini diberikan bagi tanah – tanah yang belum ada surat ukur ataupun tanah – tanah di desa – desa yang belum diselnggarakan pengukuran desa demi desa. Karenanya sertifikat sementara ini,merupakan alat pembuktian mengenai macam hak dan siapa yan punya.
3.      Sertifikat hak Tanggungan,
Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data Yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Dalam psl 32 (2) PP No. 24 tahun 1997 menyebutkan:”Bahwa dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah ersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maa pihak lain yang merasa mempunyai ak atas tanah itu tidak dapat lagi menutut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan.
Cara pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
2.      Pendaftaran tanah secara sistematik, adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk  pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tana yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan
3.      Pendaftaran tanah secara sporadik, adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau massal.


DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi,2007, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika ,Jakarta.
A.P.Perlindungan, 1993, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Mandar maju, Bandung.
Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria(Pertanahan ) Indonesia, Jilid 2, Prestasi Pustaaraya, Jakarta.





























POKOK BAHASAN VII
LANDREFORM

A.    Pengertian Landreform
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu "land" dan "reform". "Land" artinya tanah, sedangkan reform artinya perubahan dasar atau perombakan untuk membentuk/mem-bangun/menata kembali struktur tanah pertanian. Jadi Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur pertanian baru.
Merurut Cohen, S.I. dikutip oleh Lufti.I Nasoetion Agraria Re­form" adalah sebagai upaya yang luas dari pemerintah yang men-cakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusi tanah, berupa peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan, kebijakan penyakapan dan upah, pemindahan dan pembukaan tanah baru. Ladejinski.7 Landreform adalah sebuah program yang berisikan redistribusi drastis atas pemilikan dan pendapatan melalui pengorbanan kaum tuan tanah, yang meliputi seluruh atau sebagian dari unsur-unsur; redistribusi tanah kepada masyarakat tak bertanah, jaminan pengaturan pembiayaan yang layak bagi pembelian tanah penyakapan, jaminan penguasaan dan penyakapan tanah yang adil, bimbingan teknis, per-kreditan yang baik, fasilitas pemasaran dan lain-lain.
Landreform menurut Boedi Harsono. meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan   dengan penguasaan tanah.
Landreform di Indonesia dibagi dua bagian, yaitu:
a.       Landreform dalam arti luas, yang dikenal dengan istilah Agrarian ReformfPanca Program, terdiri dari :
1.      Perombakan hukum agraria
2.      Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
3.      Mengakhiri penghisapan feodal
4.      Perubahan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang berkaitan dengan penguasaan tanah (landreform dalam arti sempit), dan
5.      Perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam-nya. Kelima program ini dapat diartikan sebagai landre­form dalam arti luas.

a.       Landreform dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Selanjutnya ketentuan ini akan digunakan dalam cara yang lebih terbatas yang mengarah pada program pemerintah menuju pemerataan kembali pemilikan tanah.

Hukum agraria nasional menganut pengertian landreform dalam arti luas sebagaimana pengertian yang digunakan oleh Food and Ag­ricultural Organization (FAO), yaitu program tindakan yang saling berhubungan dan bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi dan sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan.
Berkenaan dengan pengertian landreform yang dianut oleh hukum agraria nasional, maka program landreform di Indonesia meliputi:
(1)         Larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas.
(2)         Larangan memiliki tanah secara absentee
(3)         Redistribusi tanah kelebihan dari batas maksimum, tanah yang terkena ketentuan absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya.
(4)         Pangaturan soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan.
(5)         Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
(6)         Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan peme-cahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
(7)         Usaha-usaha lain yang merupakan tindak lanjut dari program landreform sebelumnya yang meliputi:
(a)    Pengaturan hubungan kerja di bidang penggarapan tanah atau bagi hasil
(b)   Pemberian kredit
(c)    Bantuan bibit, pupuk, obat-obatan, dll
(d)   Intensifikasi
(e)    Ekstensifikasi/pencetakan sawah baru
(f)    Transmigrasi
(g)   Koperasi pertanian (KUD)
(h)   Industrialisasi.
Program butir (1) sampai dengan (6) merupakan program yang berkaitan dengan masalah hukum yang menjadi fokus pembahasan hukum agraria. Sedangkan program butir (7) lebih banyak menyangkut masalah sosial ekonomi. Pembahasannya hanya bersifat pelengkap untuk memperluas cakrawala ilmu pengetahuan dalam rangka peng-kajian hukum agraria nasional.

B.   Latar Belakang Landreform
Untuk mengetahui arti pentingnya pelaksanaan landreform dapat diketahui melalui melihat sejarah pembentukannya. Awal munculnya gerakan landreform pertama-tama terjadi di daratan Eropa, bersamaan dengan munculnya Revolusi Perancis. Gerakan landreform muncul sebagai akibat tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat petani. Perbedaan kehidupan antara para petani dan tuan-tuan tanah terlalu menyolok sehingga menimbulkan kesadaran dari para petani untuk bangkit dan menuntut keadilan sosial, kemerdekaan dan emansipasi (penghargaan yang sama atas dasar kesamaan kedudukan), seperti halnya dimiliki oleh para tuan-tuan tanah.
Terhadap pemilikan dan penguasaan tanah pada waktu itu banyak terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam struktur pertanahan. Terdapat jumlah minoritas yang memiliki tanah secara berlebihan yang disebut tuan-tuan tanah, sedangkan petani sebagai penduduk mayoritas yang memiliki tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, bahkan banyak yang sama sekali tidak mempunyai tanah (buruh tani). Ketimpangan-ketimpangan ini disebabkan oleh karena hukum pertanahan setempat memang memungkinkan pemilikan tanah pertanian dalam jumlah yang tidak terbatas, sehingga keadaan ini akan menimbulkan jurang pemisah antara tuan-tuan tanah dengan para petani.
Penderitaan yang dialami oleh mayoritas petani di daratan Eropa pada akhirnya mampu membangkitkan keadaan mereka untuk secara bersama-sama menuntut apa menjadi hak mereka agar bisa hidup lebih layak sebagai seorang petani, yakni dengan jalan memiliki tanah sendiri. Namun dalam perkembangannya tuntutan ini memiliki muatan politis, yaitu agar mereka bisa terlepas dari belenggu dan ikatan tuan-tuan tanah, sehingga dapat diakui sama halny a dengan tuan-tuan tanah.
Tuntutan para petani demikian menggeloranya, sehingga mampu menggoyahkan kedudukan tuan tanah. Bahkan tuntutan itu meluas ke Eropa Tengah dan setelah Perang Dunia 1 merembet pula ke Eropa Timur terutama Rusia. Di negara ini landreform akhirnya dilaksanakan secara konsekuen dan berhasil. Semenjak itu para petani di negara-negara luas benua Eropa pun akhirnya mulai berjuang mengikuti jejak petani di Eropa yang telah berhasil melaksanakan landreform. Akhirnya gerakan landreform menjadi gerakan dunia terutama di negara-negara agraris, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, gerakan landreform sebelum tahun 1960 tidak pernah terdegar. Ini bukan berarti bahwa Indonesia petani telah mendapatkan hak-haknya secara layak sebagaimana halnya warga negara lain. Pemberontakan-pemberontakan di beberapa daerah di Indonesia banyak terjadi, sekalipun pemberontakan-pemberontakan mereka bukan termasuk gerakan landreform. Sumber pemberontakan kaum tani itu bila diamati antara lain karena ketimpangan-ketimbangan dalam kepemilikan tanah pertanian akibat masih berlakunya dualisme hukum pertanahan, yaitu hukum tanah adat dan hukum tanah barat yang bersifat pluralistis. Diberlakukannya sistem hukum tanah barat baik secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong terjadinya ketimpangan dalam soal pemilikan tanah pertanian, yakni diper-bolehkan pemilikan tanah pertanian oleh seorang atau badan hukum dalam jumlah yang tidak terbatas..

C.  Dasar Hukum Pelaksanaan Landreform
Mengenai dasar hukum pelaksanaan landreform yaitu,
1.      Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu:
a.          Pasal 7 yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan
b.         Pasal 10 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan
c.          Pasal 13 Ayat (2) menyatakan bahwa pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dan organisasi-organisasi, perorangan yang bersifat monopoli
d.         Pasal 17 menyatakan:
(1)         Dengan mengingat ketentuan Pasal 7 maka untuk men-capai tujuan yang dimaksud Pasal 2 Ayat (3) diatur luas maksimum dan minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum
(2)         Penetapan batas maksimum dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini dilakukan dengan perarturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat
(3)         Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termasud dalam Ayat (2) Pasal ini diambil pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
(4)         tercapainya batas maksimum termaksud dalam Ayat (1) Pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan per-undangan dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Dari keseluruhan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat mem-punyai kewenangan untuk mengatur peruntukan, penggunaan serta pemeliharaan tanah-tanah serta hubungan-hubungan hukum yang menyangkut tanah-tanah yang melampui batas dan menentukan serta minimum pemilikan tanah oleh seorang atau bersama-sama demi tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat.

2.      Peraturan Pelaksanaan
a.          Peraturan pelaksanaan landreform yang berkanaan dengan larangan penguasaan tanah pertanian melebihi batas maksi­mum dan absentee, antara lain sebagai berikut:
1)      Undang-undang No. 56 Tahun 1950 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
2)      Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Jo. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;
3)      Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1977 tentang Pemi­likan Tanah Secara Guntai/Absentee bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
4)      Keputusan Menteri Agraria tanggal 31 Desember 1960 No. 978/tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Per­tanian
5)      Keputusan Presiden tanggal 5 April 1961 No. 131 Tahun 1961 yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden tanggal 6 September 1961 No. 509 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden tanggal 17 Oktober 1964 No. 263 Tahun 1964 tentang Organisasi Penyelenggara Landre-form yang kemudian dicabut dan diganti dengan Kepu-tusan Predisen No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Cara Penyelenggaraan Landreform.
6)      Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1973 No. 21 Tahun 1973 tentang Larangan Penguasaan Tanah Pertanian yang Melampaui Batas.

b.         Peraturan perudang-undangan yang berkenaan dengan Peng-hapusan Tanah Partikelir adalah antara lain:
1)      Undang-undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir.
2)      Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 tentang Pelak-sanaan Undang-undang Penghapusan Tanah Partikelir.
3)      Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1958 tentang Panitia Kerja Likuidasi Tanah-tanah Partikelir
4)      Keputusan Deputi Menteri/Kepala Depag No. SK. 15/ Depag/1966 tanggal 4 Mei 1966 tentang Pedoman tentang Penetapan Ganti Rugi kepada Bekas Pemilik Tanah Partikelir.

c.          Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan per-janjian bagi hasil, antara lain:
1)      Undang-undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
2)      Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijak-sanaan mengenai Percetakan Sawah.
3)      Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang No. 2 Tahun 1960.
4)      Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 4 Tahun 1964 tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil.

D. Tujuan Landreform
Tujuan diadakan program landreform dapat diklasifikasikan menjadi
2 (dua) bagian yaitu:
Secara umum tujuan landreform adalah untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pem-bangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara khusus landreform di Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu:

a.       Tujuan Sosial Ekonomi:
1)      Mempertinggi keadaan sosial ekonomi rakyat dengan mem-perkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada hakmilik.
2)      Mempertinggi produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan tarap hidup rakyat.

b.      Tujuan Sosial Politik:
1)      Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas
2)      Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber peng-hidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.

c.       Tujuan Mental Psikologis:
1)      Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
2)      Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.

Atas dasar tujuan itu maka sasaran yang akan dicapai adalah memberikan pengayoman kepada para petani penggarap dalam usaha memberikan kepastian hak dengan cara memberikan hak milik atas tanah yang telah digarapnya.

E. Tanah Objek Landreform
Tanah objek landreform adalah tanah-tanah dalam rangka pelaksanaan landreform akan dibagikan sebagaimana dimaksud daJam ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 adalah:
a.       Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 56 Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan undang-undang tersebut Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah
b.      Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, sebagai yang dimaksud dalam Diktum ke-empat huruf A UUPA
c.       Tanah-tanah lain dikuasai langsung oleh negara, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Selanjutnya sesuai Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi tanah objek landreform, menyatakan tanah-tanah negara lainnya yang akan ditegaskan menjadi objek landreform oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional meliputi;
1)      Tanah negara bebas
2)      Tanah-tanah bekas hak erjpacht
3)      Tanah-tanah bekas hak guna usaha yang telah berakhir waktunya dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut/dibatalkan oleh pemerintah
4)      Tanah-tanah Kehutanan yang telah digarap/dikerjakan oleh rakyat dan telah dilepaskan haknya oleh Instansi yang ber-sangkutan
5)      Tanah-tanah bekas gogolan
6)      Tanah-tanah bekas Hak Adat/Ulayat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar