Selasa, 11 Oktober 2011

Summary for UPA


UU ADVOKAT
(UU No. 18 Tahun 2003)
(Disahkan tanggal 5 April 2003)

Ketentuan Umum

Pasal 1
            Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2.      Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

....................
8.      Advokat asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9.      Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara Cuma-Cuma kepada Klien yang tidak mampu.

Pengangkatan

Pasal 2 :
(1)   Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
(2)   Pengangkatan Advokat dilakukan dilakukan oleh Organisasi Advokat.

Status

Pasal 5 :
(1)   Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
(2)   Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Penindakan

Pasal 6 :
            Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
a.       Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya
b.      Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya
c.       Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan
d.      Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya
e.       Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela
f.       Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

Pasal 7 :
(1)   Jenis tindakan yang dikenakan terhadap terhadap Advokat dapat berupa :       
a.       Teguran lisan
b.      Teguran tertulis
c.       Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan
d.      Pemberhentian tetap dari profesinya

Pemberhentian

Pasal 9 :
(1)   Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat

Pasal 10 :
(1)   Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan :
a.       Permohonan sendiri
b.      Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (tahun) atau lebih
c.       Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat


Pengawasan

Pasal 12 :
(1)   Pengawasan terhadap Advokat  dilakukan oleh Organisasi Advokat
(2)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan

Pasal 13 :
(1)   Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat

Hak dan kewajiban Advokat

Pasal 16 :
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan

Pasal 17 :
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instasnsi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan  kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 18 :
(1)   Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
(2)   Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau mayarakat.

Pasal 19 :
(1)   Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
(2)   Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungana terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.


Honorarium

Pasal 21 :
(1)   Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
(2)   Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.


Bantuan Hukum Cuma-Cuma

Pasal 22 :
(1)   Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu

Advokat Asing

Pasal 23 :
(1)   Advokat asing dilarang beracara disidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
(2)   Kantor Advokat dapat memperkerjakan Advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.
(3)   Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara Cuma-Cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum


Organisasi Advokat

Pasal 28 :
(1)   Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.


























KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pasal 1 :
            ......
e.       Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

f.       Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

g.      Pemeliharaan anak atau Hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.
........
i.        Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.

j.        Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

Pasal 7 :
(1)   Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2)   Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3)   Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.       Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b.      Hilangnya Akta Nikah
c.       Adanya keragugan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d.      Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
e.       Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

(4)   Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.



Pasal 8 :
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal 10 :
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal 20 :
(1)   Yang bertindak sebagai ahli nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
(2)   Wali nikah terdiri dari :
a.       Wali nasab
b.      Wali hakim

Pasal 23 :
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2)   Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Pasal 25 :
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26 :
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Pasal 27 :
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal 30 :
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal  31 :
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32 :
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33 :
(1)   Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai
(2)   Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal 35 :
(1)   Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2)   Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36 :
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.


LARANGAN PERKAWINAN

Pasal 39 :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1)   Karena pertalian nasab :
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b.      Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.       Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2)   Karena pertalian kerabat semenda :
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya
b.      Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya
c.       Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d.      Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3)   Karena pertalian sesusuan :
a.       Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.      Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
c.       Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
d.      Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas
e.       Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40 :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a.       Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b.      Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c.       Seorang wanita yang tidak beragama islam

Pasal 41 :
(1)   Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya :
a.       Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya
b.      Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
(2)   Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.

 Pasal 42 :
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.

Pasal 43 :
(1)   Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.       Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali
b.      Dengan seorang wanita bekas isterinya yang di li’an
(2)   Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. Gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44 :
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal 57 :
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan




PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 62 :
(1)   Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
(2)   Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63 :
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 65 ayat (1) :
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.


BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 70 :
            Perkawinan batal apabila :
a.       Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj’i
b.      Seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili’annya
c.       Seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya
d.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
Semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :
1.      Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas
2.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
3.      Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri
4.      Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan
e.       Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya
Pasal 71 :
            Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
a.       Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
b.      Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafquh
c.       Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain
d.      Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
e.       Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
f.       Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan

Pasal 73 :
            Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.       Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
b.      Suami atau isteri
c.       Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang
d.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Pasal 76 :
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Pasal 94 :
1.      Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri
2.      Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 105 :
            Dalam hal terjadinya perceraian :
a.       Pemeliharaan anak yang berlum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya
c.       Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.




PUTUSNYA PERKAWINAN

Pasal 113 :
            Perkawinan dapat putus katera :
a.       Kematian
b.      Perceraian
c.       Atas putusan Pengadilan

Pasal 114 :
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115 :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116 :
            Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri
f.       Antara suami atau isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
g.      Suami melanggar taklik talak
h.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117 :
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131.

Pasal 118 :
Talak raj’i adalah talak ke satu atau ke dua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
Pasal 119 :
1.      Talak Ba’in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah
2.      Talak Ba’in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a.       Talak yang terjadi qabla al dukhul
b.      Talak dengan tebusan atau khuluk
c.       Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

Pasal 120 :
Talak Ba’in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ii tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.

Pasal 121 :
Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122 :
Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 125 :
            Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.

Pasal 126 :
Li’an terjadi karena suami menuduh ister berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yagn sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

AKIBAT TALAK

Pasal 149 :
            Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a.       Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul
b.      Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil
c.       Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul
d.      Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
WAKTU TUNGGU

Pasal 153 ayat (2) :
            Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
c.       Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
d.      Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.































HUKUM KEWARISAN

Pasal 171 huruf a :
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Pasal 174 :
(1)   Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a.       Menurut hubungan darah :
-          Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
-          Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek
b.      Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda
(2)   Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.


BESARNYA BAHAGIAN

Pasal 176 :
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Pasal 177 :
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

Pasal 178 :
(1)   Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2)   Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Pasal 179 :
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat sepertiga bagian.


Pasal 180 :
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181 :
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182 :
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 190 :
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.




















PTUN
(UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009)

Pasal 1 :
            Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

8.      Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

9.      Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

10.  Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

11.  Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan

12.  Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan putusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Pasal 2 :
            Tidak termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :
a.       KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata
b.      KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
c.       KTUN yang masih memerlukan persetujuan
d.      KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana
e.       KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil badan pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
f.       KTUN mengenai tata usaha TNI
g.      Keputusan KPU, baik dipusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.



Pasal 3 :
(1)   Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan putusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan KTUN.

(2)   Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yagn dimaksud.

(3)  Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Pasal 48 :
(1)   Dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.

(2)   Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Pasal 49 :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.       Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51 :
(3)   Pengadilan Tinggi TUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(4)   Terhadap putusan Pengadilan Tinggi TUN sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.








Pasal 53 :
(1)   Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

(2)   Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a.       KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik

Pasal 55 :
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.

Pasal 56 :
(1)   Gugatan harus memuat :
a.       Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya
b.      Nama, jabatan dan tempat kedudukan tergugat
(2)   Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3)   Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN yang disengketakan oleh penggugat.

Pasal 62 :
(1)   Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal
a.       Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan
b.      Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan
c.       Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak
d.      Apa yang dituntut di dalam gugatan sebenarnya udah dipenuhi oleh KTUN yang di gugat
e.       Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya

(2)   ....
(3)   a.   Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan.

(4)   Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pegadilan dengan acara singkat

(5)   Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa

(6)   Terhadap putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat digunakan upaya hukum.

Pasal 63 :
(1)   Sebelum pemeriksaan poko sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2)   Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim :
a.       Wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.
b.      Dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
(3)   Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4)   Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tapi dapat diajukan gugatan baru.

Pasal 64 ayat (2) :
Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2.

Pasal 67 :
(1)   Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan badan atau pejabat tata usaha negara serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat.
(2)   Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)   Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4)   Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) :
a.       Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b.      Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

Pasal 97 :
(7)   Putusan pengadilan dapat berupa :
a.       Gugatan ditolak
b.      Gugatan dikabulkan
c.       Gugatan tidak diterima
d.      Gugatan gugur

(8)   Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN.
(9)   Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
a.       Pencabutan KTUN yang bersangkutan
b.      Pencabutan KTUN yagn bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru
c.       Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Pasal 98 ayat (1) :
Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.

Pasal 100 ayat (1) :
            Alat bukti ialah :
a.       Surat atau tulisan
b.      Keterangan ahli
c.       Keterangan saksi
d.      Pengakuan para pihak
e.       Pengetahuan hakim











UU tentang PENYELESAIAN PHI
(UU No. 2 tahun 2004)


Pasal 1 :
            Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

2.      Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

3.      Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

4.      Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

5.      Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

6.      Pengusaha adalah
a.       Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
b.      Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c.       Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

7.      Perusahaan adalah :
a.       Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b.      Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

8.      Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

9.      Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

10.  Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

11.  Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

12.  Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

13.  Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

14.  Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

15.  Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

16.  Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Pasal 2 :
            Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi :
a.       Perselisihan hak
b.      Perselisihan kepentingan
c.       Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.      Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.


PENYELESAIAN MELALUI BIPARTIT

Pasal 3 :
1.      Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
2.      Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
3.      Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

Pasal 4 :
1.      Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
2.      Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
3.      Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
4.      Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
5.      Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
6.      Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 5 :
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 6 :
1.      Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
2.      Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a.       Nama lengkap dan alamat para pihak
b.      Tanggal dan tempat perundingan
c.       Pokok masalah atau alasan perselisihan
d.      Pendapat para pihak
e.       Kesimpulan atau hasil perundingan
f.       Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan

Pasal 7 :
1.      Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
2.      Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menajdi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
3.      Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
4.      Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
5.      Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
6.      Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.


PENYELESAIAN MELALUI MEDIASI

Pasal 13 :
1.      Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
2.      Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka :
a.       Mediator mengeluarkan anjuran tertulis
b.      Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak
c.       Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepadad mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis
d.      Pihak yag tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis
e.       Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
3.      Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
a.       Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama
b.      Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Indiustrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi
c.       Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili diluar wilayah hukum Pengadilan hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

Pasal 14 :
1.      Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a di tolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
2.      Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 15 :
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).


PENYELESAIAN MELALUI KONSILIASI

Aturannya sama dengan Mediasi.

PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE

Pasal 30 :
1.      Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
2.      Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Aturannya secara umum sama dengan Mediasi.



Pasal 51 :
1.      Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
2.      ...
3.      Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
4.      Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Pasal 52 :
1.      Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.       Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu
b.      Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
c.       Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan
d.      Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial, atau
e.       Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2.      Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.

Pasal 53 :
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 54 :
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.




Pasal 56 :
            Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
a.       Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
b.      Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
c.       Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.      Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.


PENGAJUAN GUGATAN

Pasal 81 :
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.

Pasal 82 :
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Pasal 83 :
1.      Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
2.      Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya.

Pasal 84 :
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.

Pasal 86 :
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.







PEMERIKSAAN ACARA BIASA


Pasal 96 :
1.      Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
2.      Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
3.      Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
4.      Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.


PEMERIKSAAN ACARA CEPAT


Pasal 98 :
1.      Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak dan harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2.      Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
3.      Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.


Pasal 99 :
1.      Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
2.      Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.





PUTUSAN

Pasal 100 :
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan.

Pasal 103 :
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.

Pasal 108 :
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.

Pasal 109 :
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.

Pasal 110 :
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja :
a.       Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim.
b.      Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.


KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 123 :
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.





UU PERADILAN AGAMA
(UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009)

KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 49 ayat (1) :
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a.       Perkawinan
b.      Waris
c.       Wasiat
d.      Hibah
e.       Wakaf
f.       Zakat
g.      Infaq
h.      Shadaqah
i.        Ekonomi syari’ah

Penjelasan huruf a :
yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain :
1.      Izin beristeri lebih dari seorang
2.      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
3.      Dispensasi kawin
4.      Pencegahan perkawinan
5.      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6.      Pembatalan perkawinan
7.      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri
8.      Perceraian karena talak
9.      Gugatan perceraian
10.  Penyelesaian harta bersama
11.  Penguasaan anak-anak
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri
14.  Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16.  Pencabutan kekuasaan wali
17.  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut
18.  Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya.
19.  Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya.
20.  Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdsarkan hukum Islam.
21.  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.
22.  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Penjelasan huruf b :
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Penjelasan huruf c :
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Penjelasan huruf d :
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

Penjelasan huruf e :
Yang dimaksud dengan “wakaf” aalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Penjelasan huruf f :
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Penjelasan huruf g :
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.

Penjelasan huruf h :
Yang dimaksud dengan “shadaqah” perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.

Penjelasan huruf i :
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
a.      Bank syari’ah
b.      Lembaga keuangan mikro syari’ah
c.       Asuransi syari’ah
d.      Reasuransi syari’ah
e.       Reksa dana syari’ah
f.        Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
g.      Sekuritas syari’ah
h.      Pembiayaan syari’ah
i.        Pegadaian syari’ah
j.        Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
k.       Bisnis syari’ah

HUKUM ACARA

Pasal 54 :
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Pasal 56 ayat (1) :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

Pasal 64 :
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.


PEMERIKSAAN SENGKETA PEERKAWINAN


Pasal 65 :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.






CERAI TALAK

Pasal 66 :
1.      Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2.      Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3.      Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4.      Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
5.      Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67 :
            Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 diatas memuat :
a.       Nama, umur dan tempat kediaman pemohon yaitu suami, dan termohon yaitu isteri
b.      Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68 :
1.      Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
2.      Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 70 ayat (6) :
Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

CERAI GUGAT

Pasal 73 ayat (1) :
Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
Pasal 74 :
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 75 :
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.

Pasal 76 :
1.      Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri.
2.      Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk mejadi hakam.

Pasal 78 :
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat :
a.       Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
b.      Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
c.       Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Pasal 79 :
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan.

Pasal 86 :
1.      Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.      Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.

           

CERAI DENGAN ALASAN ZINA

Pasal 87 ayat (1) :
Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.

Pasal 88 :
1.      Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dpat dilaksanakan dengan cara li’an.
2.      Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh isteri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar