Selasa, 25 Oktober 2011




KEWENANGAN
LEMBAGA ARBITRASE ATAU PENGADILAN NIAGA

A.       Dasar Hukum dan Perundang-undangan

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
2.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
4.      Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
5.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
6.      Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah
7.      Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
8.      Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI Nomor : 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tak Mampu Bayar

B.        Analisa Hukum dan Pendapat Hukum
F.1. Analisa Hukum
Bahwa terdapat peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara/masalah hukum terkait permasalahan tersebut, yakni:

1.   Undang-Undang Nomor  21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Pasal 1 angka 26
Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.

Pasal 19 ayat (1) huruf d
Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
         

Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “Akad murabahah” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Pasal 19 ayat (2) huruf d
Kegiatan usaha UUS meliputi menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Pasal 21 huruf b angka 2
Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau isitishna’.

Pasal 55
(1)  Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2)  Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut :
a.       Musyawarah ;
b.       Mediasi perbankan ;
c.       Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain ; dan/atau
d.       Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(3)  Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.


Biaya Penyelesaian Perkara di Basyarnas

 Agenda
Tuntuan kurang dari Rp 1 M
Tuntutan lebih dari Rp 1 M
Penunjukan klausula arbitrase
Rp 20.000
Rp 20.000
Pendaftaran perkara
Rp 300.000
Rp 500.000
Komisi untuk arbiter (tiga orang)
2-6 persen
1 persen
Pemanggilan saksi dan ahli
6 persen
1 persen


2.     Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pasal 1 angka 1
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 1 angka 3
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Pasal 2
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 31
(1)    Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2)    Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3)    Dalam hal para pihak yang telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.

Pasal 33
Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :
a.         Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu ;
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “hal khusus tertentu” misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil diluar pokok sengketa seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
b.        Sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya ; atau
c.         Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.

Pasal 48
(1)    Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau mejelis arbitrase terbentuk.
Penjelasannya :
Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase.
(2)  Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.


Pasal 60
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
   Penjelasannya :
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.



Pasal 61
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.         Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ;
b.        Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ;
c.         Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Penjelasannya :
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan Pengadilan. Apabila Pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.

Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Pasal 72 ayat 1
Terhadap pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 72 ayat 4
Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
   Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.

Pasal 76
(1)  Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2)  Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a.      Honorarium arbiter ;
b.     Biaya saksi dan atau saksi ahli yang dikeluarkan oleh arbiter ;
c.      Biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa ; dan
d.     Biaya administrasi.

Pasal 77
(1)    Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.
(2)    Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak seimbang.


Tentang Jangka Waktu Penyelesaian Melalui Arbitrase

PASAL
URAIAN
JUMLAH HARI
14 ayat (3)
15 ayat (3)
15 ayat (4)
16 ayat (2)
24 ayat (3,4)
38
39
40 ayat (2), 41

44 ayat (2)

44 ayat (2)

48 ayat (1)

57
58
59 ayat (1)
62 ayat (1)

71
72 ayat (3)

72 ayat (4)
72 ayat (5)
74 ayat (2)
75 ayat (2)
Pengangkatan arbiter tunggal
Pengangkatan arbiter dalam majelis arbitrase
Pengangkatan arbiter ketiga dalam majelis arbitrase
Penerimaan atau penolakan oleh arbiter
Tuntutan ingkar terhadap arbiter
Pemasukan surat permohonan gugatan
Jawaban atas termohon arbitrase
Panggilan untuk menghadap di depan sidang arbitrase
Panggilan ke-2 untuk menghadap di depan sidang arbitrase
Pemeriksaan sidang tanpa kehadiran termohon arbitrase
Jangka waktu penyelesaian sengketa melalui arbitrase
Putusan ucapan
Koreksi putusan
Pendaftaran ke PN
Eksekusi oleh PN
Pelaksanaan putusan arbitrase
Permohonan pembatalan putusan
Putusan permohonan pembatalan putusan arbitrase oleh MA
Pengajuan banding ke MA
Putusan oleh MA atas banding putusan pembatalan
Penundaan tugas arbiter (48)
Pengangkatan arbiter pengganti
Jangka waktu tambahan
14
30
14
14
14
-
14
14

-

10

180

30
14
30
30
270
30
30

-
30
60
30
150


3.     Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI Nomor : 04/DSN-MUI/2000 tentang Murabahah

Pertama   :        Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah
Kedua       :        Ketentuan Murabahah kepada Nasabah
Ketiga       :        Jaminan dalam Murabahah
Keempat  :         Utang dalam Murabahah :
1.      Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2.      Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3.      Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima    :          Penundaan Pembayaran dalam Murabahah :
1.      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2.      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam  :          Bangkrut dalam Murabahah :
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.


4.     Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI Nomor : 47/DSN-MUI/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar

Pertama :  Ketentuan Penyelesaian
LKS boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan :
1.      Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati ;
2.      Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan ;
3.      Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah ;
4.     Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah ;
5.      Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka LKS dapat membebaskannya.
Kedua  :  Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

5.     Undang-Undang Nomor  37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Pasal 303
Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.
   Penjelasannya :
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang-piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.

Pasal 2 ayat (1)
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.
   Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “Kreditor” dalam ayat ini adalah baik kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.
Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.



Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1.        Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pilit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2.        Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih dimuka Pengadilan.
3.        Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yahg pelunasannya dapat ditagih dimuka Pengadilan.
..........
6.        Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

Syarat dan Putusan Pailit

Pasal 2 ayat (1)
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.

Pasal 6 ayat (1)
Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.

Pasal 7 ayat (1)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang advokat.
Pasal 8
(4)  Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
               Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
(5)  Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
(6)  Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat pula :
a.     pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.
b.    pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.
                           Penjelasannya :
Pertimbangan hukum atau pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis hakim dimuat sebagai lampiran dari putusan pengadilan tersebut.
 (7) Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.

Pasal 11 ayat (1)
Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung.


Pasal 13 ayat (3)
Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

Pasal 14 ayat (1)
Terhadap putusan, atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.


Pasal 19 ayat (2)
Terhadap putusan pencabutan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali.


Akibat Kepailitan

Pasal 21
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.


Pasal 26 ayat (1)
Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.

Pasal 27
Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor Pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

Pasal 32
Selama kepailitan Debitor tidak dikenakan uang paksa.
   Penjelasannya :
Uang paksa dalam ketentuan Pasal ini mencakup uang paksa yang dikenakan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Pasal 35
Dalam hal suatu tagihan diajukan untuk dicocokkan maka hal tersebut mencegah berlakunya daluarsa.

Pasal 55 ayat (1)
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.


Pasal 56
(1)    Hak eksekutor Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Penjelasannya :
Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini bertujuan, antara lain :
-          Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian ;
-          Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit ; atau
-          Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menajdi agunan.
(2)    Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk memperjumpakan utang.
Penjelasannya :
Termasuk dalam pengecualian terhadap penangguhan dalam hal ini adalah hak Kreditor yang timbul dari perjumpaan utang (set off) yang merupakan bagian atau akibat dari mekanisme transaksi yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan Berjangka.
(3)    Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penjelasannya :
Harta pailit yang dapat dijual oleh Kurator terbatas pada barang persediaan (Inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan.
Yang dimaksud dengan “perlindungan yang wajar” adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum.
Perlindungan dimaksud, antara lain dapat berupa :
a.       Ganti rugi atas terjadinya penurunan hilai harta pailit ;
b.      Hasil penjualan bersih ;
c.       Hak kebendaan pengganti ; atau
d.      Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.


Pasal 57
(1)    Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1).
Penjelasannya :
   Yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar.
(2)    Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.
(3)    Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas.

Pasal 59
(1)    Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “harus melaksanakan haknya” adalah bahwa Kreditor sudah mulai melaksanakan haknya.
(2)    Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut.

Pasal 60
(1)    Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang melaksanakan haknya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator tentang hasil penjualan benda yang menajdi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada Kurator.
(2)    Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan “Kreditor yang diistimewakan” adalah Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
(3)    Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang.


Pencocokan Piutang

Pasal 138
Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki Kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.


Pemberesan Harta Pailit

Pasal 178 ayat (1)
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.

Permohonan Peninjauan Kembali

Pasal 295
(1)    Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2)    Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan, apabila :
a.       Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan
b.      Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.

Pasal 296
(1)  Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2)  Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf b, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 298 ayat (1)
Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung.



F.2. Pendapat Hukum

Umum

Mengenai Perjanjian/Akad

1.      Bahwa berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata, suatu perikatan timbul karena Undang-Undang atau karena suatu perjanjian.

2.      Bahwa perikatan yang timbul dari suatu perjanjian, haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata.

3.      Bahwa akibat timbul dan sahnya perjanjian tersebut, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga para pihak harus mematuhi dan menjalani semua isi perjanjian yang dibuatnya itu (asas pucta sunt servanda).

Mengenai Lembaga Penyelesaian Sengketa

1.      Bahwa lembaga Arbitrase adalah lembaga extra judicial yang berwenang menyelesaikan sengketa yang kewenangan pelaksanaannya timbul berdasarkan dari adanya suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase sebagai konsekuensi hukum dari asas pucta sunt servanda.

2.      Bahwa kedudukan lembaga Arbitrase sebagai extra judicial untuk menyelesaikan sengketa yang kewenangannya itu didasarkan dari suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase, tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan (Pengadilan Niaga) sebagai extra ordinary yang kewenangannya secara khusus (special law) memiliki kapasitas hukum untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian sengketa kepailitan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

3.      Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999, yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan mengadili sendiri serta menyatakan bahwa Pengadilan Niaga berwenang mengadili permohonan pailit tersebut. (isi putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat : yang berpendirian tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kepailitan, dengan alasan adanya klausula Arbitrase dalam perjanjian).


G.2  Saran-Saran atau Solusi Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, kami menyampaikan solusi permasalahan sebagai berikut :

1.     Penyelesaian melalui Arbitrase Syari’ah

Bahwa penyelesaian melalui Arbitrase yang merupakan extra judicial yang putusannya bersifat final dan mengikat adalah penyelesaian yang bersifat tertutup dan pelaksaannya pun lebih efisien serta kesepakatan untuk mencari solusi lebih terbuka antara para pihak, baik melalui kesepakatan cara pelunasan, konversi akad maupun penjadwalan kembali tagihan Murabahah guna terpenuhinya piutang murabahah oleh nasabah.


2.     Penyelesaian melalui Permohonan Pernyataan Pailit ke Pengadilan
                
Bahwa guna kepastian pengembalian aset Bank yang dipergunakan oleh Debitur sebagai penerima jasa Bank yang berdasarkan Akad Murabahah lebih terjamin, yang dikarenakan terdapatnya itikad tidak baik dari Debitur untuk memenuhi kewajibannya terhadap Bank, maka dapat diajukannya permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga, agar Agunan dalam Akad Murabahah tersebut dapat dieksekusi dan semua kekayaan Debitor pailit dapat dijadikan sebagai pemenuhan utangnya terhadap Kreditor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar