Selasa, 16 Agustus 2011

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA BERDASARKAN HIR – RBG




Pemeriksaan perkara acara perdata diatur dalam titel IX HIR (titel IV Rbg), yaitu :
1.    Pemeriksaan perkara di persidangan      (Pasal 115–161 HIR, 142–188 Rbg)
2.    Bukti                                                               (Pasal 162–177 HIR, 288–314 Rbg)
3.    Musyawarah dan putusan hakim                         (Pasal 178–187 HIR, 189–198 Rbg)
4.    Banding                                                         (Pasal 199–205 Rbg, UU . 20/1947)
5.    Pelaksanaan putusan hakim                    (Pasal 195–224 HIR, 206 – 258 Rbg)
6.    Mengadili perkara istimewa                       (Pasal 225–236 HIR, 259 – 272 Rbg)
7.    Izin menggugat dengan Cuma-Cuma     (Pasal 237–245 HIR, 273 – 281 Rbg)

Berdasarkan putusan MA No. 294 K/Sip/1971, tanggal 7 Juli 1971, mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum. Sehingga tuntutan hak atau tuntutan perdata (burgerlijke vordering) sebagaimana yang diatur dalam HIR adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut Gugatan.

Gugatan dapat diajukan secara tertulis (Pasal 118 HIR, 142 Rbg) maupun diajukan secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 Rbg).

Untuk mengajukan suatu gugatan, maka harus memenuhi syarat isi gugatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 no.3 RV yaitu memuat :
1.    Identitas para pihak
Yang merupakan ciri-ciri dari penggugat dan tergugat :
*      Nama
*      Tempat tinggal
*      Umur
*      Status kawin




2.    Fundamentum petendi (middelen van den eis)
Yaitu dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan. Dasar tuntutan ini terdiri dari 2 bagian :
a.    Uraian mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa, yang merupakan penjelasan duduknya perkara
b.    Uraian mengenai hukumnya, yaitu tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan yang tidak hanya menyebutkan peraturan-peraturan hukumnya saja.
Berdasarkan Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg, Pasal 1865 BW), yang menyatakan :
“Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau menyebut suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”

Artinya bahwa hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dipersidangan nanti, harus dimuat dalam fundamentum petendi sebagai dasar dari tuntutan yang memberi gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu. Berdasarkan putusan MA No. 547 K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972 yang menyatakan bahwa perumusan kejadian materiil secara singkat sudah memenuhi syarat adanya hubungan hukum.

3.    Petitum/tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke en bepaalde conclusie)
Yaitu mengenai apa yang diminta oleh penggugat atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas (Pasal 8 RV), apabila tidak memenuhi maka berdasarkan Pasal 94 RV akibatnya adalah batal demi hukum.

Selain tuntutan pokok/petitum diatas, dalam gugatan sering juga ditemui tuntutan tambahan atau pelengkap pada tuntutan pokok, yaitu :
a.    Tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara
Banyaknya biaya perkara harus disebutkan dalam putusan hakim (Pasal 183 HIR, 193 Rbg), apabila gugatan dalam konvensi maupun gugatan dalam rekonpensi ditolak oleh pengadilan maka kedua belah pihak bersama-sama wajib memikul ongkos perkara (Putusan MA No. 944 K/Sip/1971 tanggal 19 Februari 1972), namun apabila gugatan penggugat dikabulkan sebagian maka biaya perkara harus dibebankan kepada kedua belah pihak (Putusan MA No. 801 K/Sip/1971 tanggal 22 Desember 1971).

b.    Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun putusannya dilawan atau dimintakan banding
Berdasarkan SEMA No. 3 tahun 2000, MA melarang Ketua PN, PA dan para hakim PN dan PA menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut :
1.    Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik (authentieke titel) atau surat tulisan tangan yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut UU tidak mempunyai kekuatan bukti
2.    Gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah
3.    Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad baik
4.    Pokok gugatan mengenai tuntutan mengenai pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap
5.    Dikabulkannya gugatan provisionil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 RV
6.    Gugatan didasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan
7.    Pokok sengketa mengenai hak penguasaan (bezitsrecht)

c.    Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir)
Apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa pembayaran sejumlah uang tertentu, bunga ini dibebankan sebagai ganti kerugian karena lambat memenuhi isi perjanjian dan diperhitungkan sejak diajukan gugatan ke pengadilan (Pasal 1250 BW). Berdasarkan St.1848 No. 22 besarnya bunga berjumlah 6 % setahun

d.    Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (astreinte, dwangsom)
Pembayaran uang paksa hanya mungkin terhadap perbuatan yang harus dilakukan oleh tergugat yang tidak terdiri dari pembayaran suatu jumlah uang (Putusan MA No. 496 K/Sip/1971 tanggal 1 September 1971). Untuk memaksa agar tergugat melaksanakan putusan maka tuntutan ini patut dikabulkan (Putusan MA No. 38 K/Sip/1967 tanggal 17 Mei 1967)

e.    Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan akan nafkah bagi isteri (Pasal 59 ayat 2, 62, 65 HOCI, 213, 229 BW) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, 232 BW)
BW            : Burgelijk Wetbiek
HOCI        : Huwelijksordonnantie Christen Indonesiers

Kwalifikasi orang/badan hukum sebagai tergugat harus lah memiliki kemampuan untuk bertindak (handelingsbekwaamheid) :
*      Dalam hal belum dewasa, maka harus diwakili oleh walinya
*      Dalam hal seorang Isteri yang tunduk pada BW tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan daripada suaminya (Pasal 110 BW)
*      Dalam hal badan hukum, adalah pengurus atau wakilnya (Pasal 1655 BW) sehingga untuk mewakili badan hukum tersebut pengurus tidak memerlukan surat kuasa khusus
*      Dalam hal gugatan terhadap badan hukum publik, dialamatkan kepada pimpinannya (Pasal 6 no. 3 Rv)

MENGENAI KUASA PENGGUGAT/TERGUGAT

            Untuk bertindak sebagai kuasa atau wakil dari Penggugat/Tergugat, maka seseorang harus memenuhi salah satu syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR, 147 ayat (1) Rbg :
1     Harus memiliki surat kuasa khusus
2      Di tunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat (dalam hal penggugat)
3     Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila gugatan diajukan secara lisan (dalam hal penggugat)
4     Ditunjuk oleh penggugat/tergugat sebagai kuasa atau wakil di dalam persidangan
5     Telah terdaftar sebagai advokat

MENGENAI KUASA DARI NEGARA/PEMERINTAH

            Untuk bertindak sebagai kuasa atau wakil dari negara atau pemerintah, berdasarkan St.1992 No. 522 dan Pasal 123 ayat (2) HIR, Pasal 147 ayat (2) Rbg, yaitu :
1.    Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah
2.    Jaksa
3.    Orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat atau ditunjuk

MENGENAI PENGGABUNGAN TUNTUTAN
1.    Kumulasi subyektif
Yaitu seorang penggugat melawan tergugat lebih dari seorang atau sebaliknya (Pasal 4, 81, 107 Rv), (Pasal 127 HIR), (Pasal 151 Rbg), (Pasal 1283, 1284, 18 WvK). Hal ini harus didasari dengan adanya hubungan yang erat/koneksitas. Dalam hal sering dijumpai tangkisan tergugat yaitu tergugat menghendaki adanya orang lain yang harus diikutsertakan dalam gugatan sebagai pihak yang berkepentingan (exceptio plurium litis consortium).
2.    Kumulasi obyektif
Yaitu penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Namun kumulasi ini dikecualikan terhadap


MENGENAI INTERVENTIE
            Interventie diatur dalam Pasal 279 – 282 Rv, ada 2 bentuk interventie :
1.    Menyertai (Voeging)
Yaitu pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap memihak kepada salah satu pihak, guna melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan jalan membela salah satu pihak yang bersengketa. Kepentingan hukum tersebut haruslah ada hubungannya dengan pokok sengketa antara penggugat dan tergugat (Pasal 279 Rv)

2.    Menengahi (Tussenkomst)
Pihak ketiga (Intervenient) mengajukan tuntutan melawan penggugat dan tergugat untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri/kepentingan hukum (Pasal 279 Rv), disamping adanya tuntutan dari penggugat terhadap tergugat. Menurut Yurisprudensi, campur tangan tersebut haruslah adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian atau kehilangan hak yang terancam oleh sengketa yang sedang berlangsung untuk mempertahankan haknya itu maka perlu campur tangan.

3.    Penanggungan/pembebasan (Vrijwaring)
Pihak ketiga ditarik sebagai pihak ketiga dalam suatu sengketa yang sedang berlangsung (Pasal 70 – 76 Rv), artinya ikut sertanya pihak ketiga bukan karena kehendaknya sendiri/terpaksa tapi karena ditarik oleh salah satu pihak yang bersengketa.

Ada 2 Vrijwaring :
1.    Vrijwaring formil (garantie formelle) Pasal 27 Rv
Apabila seseorang diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak atau benda terhadap tuntutan yang bersifat kebendaan.

2.    Vrijwaring sederhana (garantie simple) Pasal 74 Rv
Apabila sekiranya tergugat dikalahkan dalam sengketa yang sedang berlangsung, mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ketiga, dimana pihak ketiga disebut penanggung (waarborg), sedangkan pihak yang menariknya disebut tertanggung (gewaarborgde).

Ada 2 jenis kewenangan hakim dalam mengadili, yaitu :
1.    Kewenangan mutlak (kompetensi absolut)
Bahwa perkara perdata adalah perkara yang mengandung sengketa (contentieus) atau tidak mengandung sengketa (voluntair). Pada dasarnya dalam mengajukan tuntutan dalam perkara perdata berlaku asas “point d’interet, point d’action” : tidak ada kepentingan, tidak ada tuntutan.

2.     Kewenangan nisbi (kompetensi relatif)
Mengenai wilayah hukum suatu pengadilan dalam mengadili :
a.    Yang berwenang memeriksa gugatan adalah PN di tempat tergugat tinggal : actor sequitor forum rei (Pasal 118 ayat (1) HIR, 142 ayat (1) Rbg)
b.    Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata tidak dikenal atau tergugat tidak terkenal, gugatan diajukan di PN di tempat tergugat sebenarnya tinggal (Pasal 118 ayat (1) HIR, 142 ayat (1) Rbg)
c.    Apabila dipilih tempat tinggal, gugatan dapat diajukan ke PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut (Pasal 118 ayat 4 HIR, 142 ayat 4 Rbg)
d.    Jika yang digugat lebih dari seorang tergugat dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah hukum suatu PN, maka gugatan  diajukan kepada PN di tempat salah seorang tergugat tinggal (Pasal 118 ayat (2) HIR, 142 ayat (2) Rbg)
e.    Apabila tergugat-tergugat itu terdiri dari orang-orang yang berhutang (debitur) dan penanggung, maka gugaatn diajukan kepada PN ditempat orang yang berhutang (debitur) tinggal (Pasal 118 ayat (2) HIR, 142 ayat (2) Rbg).
f.     Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata atau apabilaa tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada PN di tempat penggugat tinggal (Pasal 118 ayat (3) HIR, 142 ayat (3) Rbg).
g.    Apabila gugatan itu mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada PN di tempat benda tetap itu terletak : forum rei sitae (Pasal 118 ayat 3 HIR, 142 ayat 5 Rbg)
h.    Dalam hal perceraian bagi mereka yang tidak beragama Islam, gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 20 ayat (1) dan (22) PP No.9 tahun 1975)
i.      Mengenai pengangkatan anak, permohonan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang hendak di angkat (SEMA No. 2 tahun 1979)
j.      Permohonan untuk dinyatakan pailit diajukan kepada PN ditempat debitur tinggal (Pasal 2 St. 1905 No. 217 jo.St.1906 No. 348)

UPAYA-UPAYA UNTUK MENJAMIN HAK

            Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya apabila gugatannya nanti dikabulkan, undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut yang merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata yaitu dengan penyitaan (arrest ; beslag), dimana barang tersebut tidak boleh dialihkan atau dijual (Pasal 197 ayat 9 HIR, 199 HIR, 212, 214 Rbg). Oleh karena itu penyitaan ini dinamakan sita jaminan (sita conservatoir), sehingga tindakan tergugat/debitur mengalihkan barang-barang yang disita adalah tidak sah dan merupakan perbuatan pidana (Pasal 231, 232 KUHP).
            Apabila permohonan sita jaminan dikabulkan dan dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklard) dalam putusan, dan bilamana sita itu mempunyai titel eksekutorial sehingga berubah menjadi sita eksekutorial yang berarti tuntutan penggugat dapat dilaksanakan.

Ada 2 macam sita jaminan, yaitu :
1.    Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri (pemohon), merupakan penyitaan terhadap barang milik kreditur (penggugat) yang dikuasai oleh orang lain. Sita ini ada 2 macam :

a.    Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg)
Setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (Pasal 1977 ayat (2), 1751 BW).
Setiap orang yang memiliki hak reklame yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar (Pasal 1145 BW, 232 WvK).
Dapat minta baik secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN ditempat orang yang memegang barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita.

b.    Sita maritaal (Pasal 823 Rv)
Merupakan penjaminan agar barang yang disita tidak dijual. Yaitu untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut (Pasal 190 BW, 823 Rv). Yang dapat disita secara maritaal adalah barang bergerak dari kesatuan harta kekayaan atau milik isteri maupun barang tetap dari kesatuan harta kekayaan (Pasal 823 Rv)

2.    Sita jaminan terhadap barang milik debitur/tergugat (sita conservatoir)
Sita conservatoir hanya dapat terjadi berdasarkan perintah ketua PN atas permintaan kreditur atau penggugat (Pasal 227 ayat (1) HIR, 261 ayat (1) Rbg). Dimana permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan karena sita ini pada hakekatnya adalah sudah menilai pokok sengketa dan hakim yang memeriksa perkara itu pulalah yang memerintahkan dengan surat penetapan.



Yang dapat disita secara conservatoir adalah :
a.    Barang bergerak milik debitur/tergugat (Pasal 227 jo 197 HIR, 261 jo. 208 Rbg)
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaga serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Pasal 197 ayat (9) HIR, 212 Rbg).
Apabila terdapat beberapa permohonan penyitaan oleh beberapa kreditur/penggugat, maka penyitaan ini tidak doleh dilakukan terhadap barang yang sama/sita rangkap : saisie sur saisie ne vaut (Pasal 463 Rv), akan tetapi dapat dilakukan terhadap barang-barang debitur/tergugat lainnya yang belum disita  (voortgezet beslag). Dan para kreditur dapat mengajukan permohonan kepada ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian hasil penjualan barang debitur/tergugat yang telah disita (Pasal 204 ayat (1) HIR, 222 ayat (1) Rbg).

b.    Barang tetap milik milik debitur/tergugat (Pasal 197, 198, 199, 227 HIR, 261, 208, 214 Rbg)
Penyitaan dilakukan dengan diumumkan di tempat, agar diketahui oleh orang banyak. Terhitung mulai hari berita acara penyitaan barang tetap itu diumumkan kepada umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya kepada orang lain, membebani atau menyewakannya (Pasal 199 HIR, 214 Rbg).

c.    Barang bergerak milik debitur/tergugat yang ada ditangan pihak ketiga : derden beslag  (Pasal 728 Rv, 197 ayat (8) HIR, 211 Rbg)
Menurut Pasal 197 ayat 8 HIR (Pasal 211 Rbg) menyatakan bahwa penyitaan barang bergerak milik debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga meliputi juga barang bergerak yang bertubuh yang ada ditangan pihak ketiga. Dimana kreditur dapat menyita atas dasar akta otentik atau akta dibawah tangan pihak ketiga (Pasal 728 Rv)

d.    Sita conservatoir terhadap kreditur (Pasal 75a Rv)
Yaitu adanya hutang-piutang timbal balik antara kreditur dan debitur, dimana kreditur sekaligus juga debitur dan debitur sekaligus juga kreditur. Dalam hal ini, kreditur yang mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan sita conservatoir terhadap dirinya sendiri. Pada hakekatnya adalah sita atas barang-barang yang ada di tangan pihak ketiga (derdenbeslag), hanya dalam hal ini pihak ketiga itu adalah kreditur itu sendiri.

e.    Sita gadai (pandbeslag) Pasal 751 – 756 Rv)
Hanya dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam Pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam Pasal 1140 BW.

f.     Sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (saisie foraine) Pasal 757 Rv

g.    Sita conservatoir atas pesawat terbang (Pasal 763h – 763k Rv)

h.    Sita barang milik negara, yaitu harus dimintakan izin kepada Mahkamah Agung dalam hal penyitaan uang negara yang ada pada pihak ketiga, piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik negara (Pasal 65, 66, ICW, St. 1864 no. 106).

MENGAJUKAN GUGATAN

            Pengajuan gugatan harus memenuhi peraturan bea materai (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg, UU No. 13 tahun 1985. Surat bukti yang diajukan dalam perkara perdata wajib untuk diberi materai (Pasal 2 ayat (1) UU Np. 13 tahun 1985 LN 69).  Kwitansi yang diajukan sebagai alat bukti, tetapi tidak bermaterai adalah tidak sah sebagai alat bukti (Putusan MA No. 983/Sip/1972, R II hal. 219, tanggal 28 Agustus 1975).

PENGARUH LAMPAU WAKTU (DALUARSA)
*      Pasal 1967 BW
Yaitu lampau waktu hapusnya perikatan (extinctief/prescriptio). “Semua tuntutan hak baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus (kadaluarsa) setelah lampau waktu 30 tahun”.

Pasal 1963 BW
Yaitu lampau waktu yang menyebabkan seseorang memperoleh hak (acquisitief/usucapio).

*      RvJ Jakarta 17 Juni 1938, T 149, hal.179
Bunga atau uang sewa yang tidak ditagih selama lebih dari 2 tahun itu hapus, kecuali kalau ada alasan yang layak.

*      PT. Surabaya 24 Nopember 1952, H 1953 No. 2-3 hal.88
selama 24 tahun tidak mengajukan gugatan ke PN tentang barang warisan dari ibunya, penggugat yang kemudian mengajukan gugatan dianggap melepaskan haknya.

*      MA. 19 Juli 1955, H 1956, No. 1-2  hal.74
Seorang pemberi gadai barang perhiasan emas yang tidak datang pada panggilan untuk menghadiri pembagian harta warisan dari almarhum pemegang gadai dan kemudian berdiam diri selama 7 tahun, dianggap melepaskan haknya untuk menebus barang yang digadaikan.

*      MA. 4 Februari 1970 No. 499 K/Sip/1970
Apabila antara perbuatan hukum yang dapat dibatalkan/batal dan pada saat pengajuan gugatan telah lewat 18 tahun, maka gugatan itu tidak dapat dianggap diajukan dengan iktikad baik.

*      MA. 6 Juli 1955, H 1956 No. 5-6 hal.19
Hutang uang yang selama 21 tahun tidak pernah dilunasi hapus karena lampaunya waktu.

*      RvJ Jakarta 13 Januari 1939, T 150 hal.241
Menduduki tanah selama 20 tahun tanpa gangguan, sedang pihak lawan selama itu membiarkan keadaan demikian, adalah persangkaan berat bahwa pendudukan (bezit) itu adalah berdasarkan hukum.

*      RvJ Jakarta 12 Januari 1940, T 154 hal. 269
Menduduki tanah dalam waktu lama tanpa gangguan, sedang yang menduduki tanah bertindak sebagai pemilik yang jujur pada umumnya mendapat perlindungan hukum.

*      PT. Surabaya 24 Nopember 1952, H 1953 No. 2-3 hal.88
Perkara lama dianggap untuk kepentingan ketentraman hukum tidak pada tempatnya lagi diperiksa dan diadili oleh pengadilan

*      MA. 22 Desember 1971, No. 802 K/Sip/1971
Sekalipun penggugat telah membiarkan suatu keadaan selama 25 tahun lebih, akan tetapi karena hukum adat tidak mengenal “daluarsa” maka gugatan penggugat masih tetap dapat diterima dan diperiksa serta diputuskan seperti biasa.

*      MA. 12 Januari 1972, No. 932 K/Sip/1971
Lewat waktu tidak merupakan alasan hilangnya hak para penggugat untuk menuntut haknya yang berasal dari warisan orang tuanya.

*      Pasal 835 BW, MA. 19 April 1972 No. 26 K/Sip/1972
Suatu gugatan menjadi kadaluarsa dalam waktu 30 tahun

*      MA. 19 Desember 1973 No. 916 K/Sip/1973
Dalam hukum adat dengan lewatnya waktu saja hak milik atas tanah tidak hapus.

MENGENAI PENUNDAAN SIDANG

            Berdasarkan Pasal 159 ayat (4) HIR (Pasal 186 ayat (4) Rbg), melarang pengunduran sidang atas permintaan para pihak, bahkan secara ex officio hakim dilarang menunda sidang kalau tidak sangat perlu.


MENGENAI GUGAT REKONVENSI
*      seorang pelawan (opposant) terhadap putusan verstek dapat mengajukan gugatan rekonvensi, karena para pihak pada acara perlawanan (verzet) menduduki yang sama seperti semula.

*      PN. Medan 25 Mei 1950, H 1952 No. 4-5 hal. 19
Kalau ada beberapa orang tergugat, maka seorang tergugat tidak dapat mengajukan gugat rekonvensi terhadap kawan tergugatnya.

*      Pasal 132b (1) HIR, 158 (1) Rbg)
Gugat rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat, baik tertulis maupun lisan. Dalam duplik pun gugatan rekonvensi masih dapat diajukan (MA. 15 Maret 1969 No. 239 K/Sip/1968

*      Pasal 132a ayat (2) HIR, 157 ayat (2) Rbg
Setelah jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat selesai dan telah dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak diperbolehkan lagi mengajukan gugatan rekonvensi, sedangkan apabila dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan tuntutan rekonvensi, dalam tingkat banding tidak dibolehkan mengajukan tuntutan rekonvensi.

*      Pasal 132b ayat (3) HIR, 158 ayat (3) Rbg
Gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu putusan, akan tetapi hakim dapat memisahkan kedua perkara itu, kalau ia berpendapat bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dulu (PN. Medan 25 Mei 1950, H 1952 No. 4-5 hal.19.

Pada asasnya tuntutan rekonvensi dapat meliputi segala hal (Pasal 132a (1) No. 1,2,3 HIR, 157, 158 Rbg), kecuali :
1.    Bila penggugat konvensi bertindak karena suatu kualitas tertentu, sedang tuntutan rekonvensi akan mengenai diri penggugat pribadi atau sebaliknya.
2.    Bila PN yang memeriksa gugat konvensi tidak wenang memeriksa gugat rekonvensi
3.    Dalam perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan.
4.    Dalam hal tuntutan tentang penguasaan (bezitactie), sedang tuntutan rekonvensi mengenai tuntutan tentang eigendom (Pasal 244 No. 3 Rv).



PEMBUKTIAN

            Setelah jawab menjawab antara penggugat dan tergugat akhirnya akan dapat diketahui oleh hakim apa yang sesungguhnya disengketakan oleh mereka yaitu peristiwa apa yang menjadi pokok sengketa.
Dalam acara perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja. Alat bukti tersebut berdasarkan Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW adalah :
1.    Alat bukti tertulis
2.    Pembuktian dengan saksi
3.    Persangkaan-persangkaan
4.    Pengakuan
5.    Sumpah

ALAT BUKTI TERTULIS
Alat bukti tertulis diatur dalam :
*      HIR : Pasal 138, 165, 167
*      Rbg : Pasal 164, 285 – 305
*      BW  : Pasal 1867 – 1894
*      Rv   : Pasal 138 – 147

Alat bukti tertulis atau akta adalah :
Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi :
1.    Surat yang merupakan akta
*      Akta otentik
*      Akta dibawah tangan
2.    Surat-surat lainnya yang bukan akta

Mengenai Akta Otentik

Akta adalah :
Surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Surat agar bisa disebut sebagai akta harus lah ditandatangani (Pasal 1869 BW).

Alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan materai untuk memenuhi Pasal 2 ayat (1) a UU Bea Materai (UU No. 13 tahun 1985), tarif bea materai (PP No. 24 tahun 2000). Berdasarkan Putusan MA No. 589 K/Sip/1970 tanggal 13 Maret 1971 bahwa surat bukti yang tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti yang sah.

Surat yang tidak sejak semula dibubuhi materai, misalnya surat korespondensi biasa, dan kemudian digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan perdata, haruslah dibubuhi dengan materai (Pemateraian Kemudian : Nazageling) Pasal 10 UU No. 13 tahun 1985.

Akta otentik  adalah :
-       Surat atau akta
-       Yang sejak semula dengan sengaja
Bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian dikemudian hari kalau terjadi sengketa, karena ada surat yang tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti seperti surat korespondensi biasa.
-       Secara resmi
Karena tidak dibuat secara dibawah tangan
-       Dibuat untuk pembuktian
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pejabat Notaris, Notaris adalah :
Pejabat umum (openbaar ambtenaar) satu-satunya yang berwenang (uitsluitend bevoegd) untuk membuat AKTA OTENTIK mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpannya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya.

Berdasarkan Pasal 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW, yang menyatakan akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari padanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Sedangkan terhadap pihak ketiga, akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Oleh karena itu, akta otentik dapat dibagi menjadi :
1.    Akta otentik yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk, procesverbaal)
Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya/inisiatif bukan dari orang yang namanya diterangkan dalam akta. Contoh BAP Polisi, Panitera Pengganti di pengadilan.

2.    Akta otentik yang dibuat oleh para pihak (partijakte)
Dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Contoh akta notaris jual beli, sewa menyewa, dll.

Mengenai pembatalan akta otentik :
*      Pasal 1888 BW
Kekuatan akta otentik terletak pada akta aslinya, apabila notaris salah menyalin akta, maka salinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti tertulis.

*      Pasal 1682 BW
Apabila akta notaris menjadi persyaratan untuk sahnya suatu perbuatan hukum dan tidak dipenuhi, maka isi dan aktanya batal sehingga perbuatannya pun batal. Contoh akta pada hibah.

*      Putusan MA No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973
Apabila aktanya sendiri tidak cacat secara yuridis, maka hanya perbuatan hukumnyalah yang dibatalkan.

*      Mudofir Hadi, S.H : pembatalan isi akta notaris dengan putusan hakim
Kesalah dalam bentuk akta, yaitu apabila bentuknya suatu pernyataan keputusan rapat umum luar biasa, sedang yang seharusnya berita acara rapat, maka aktanya batal, tetapi isinya tidak.

*      Putusan MA No. 383 K/Sip/1971, tanggal 3 Nopember 1971
Pembatalan sertifikat hak milik yang dikeluarkan oleh Instansi Agraria (BPN) secara sah tidak termasuk wewenang pengadilan, melainkan semata-mata termasuk wewenang administrasi. Pembatalan surat bukti tersebut harus dimintakan oleh pihak yang dimenangkan pengadilan kepada Instansi Agraria (BPN) berdasarkan putusan pengadilan yang diperolehnya.

Mengenai Akta Di Bawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah :
Akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Pengaturannya :
-       St.1867 No. 29 untuk jawa dan madura
-       Pasal 286 – 305 Rbg untuk luar jawa dan madura
-       Pasal 1874 – 1880 BW

Menurut Pasal 1 St. 1867 No. 29 (Pasal 1874 BW, 286 Rbg), surat dibawah tangan adalah akta dibawah tangan, surat-surat daftar (register), catatan mengenai rumah tangga dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat.

Akta dibawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menanda tangani, atau setidak-tidaknya selain tanda tangan harus ditulis pula dibawah, dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya (bon pour cent florins). Bila tidak demikian, maka akta dibawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Pasal 4 St. 1867 No. 29, Pasal 1871 BW, Pasal 291 Rbg).

Berdasarkan Pasal 1902 BW, syarat-syarat terdapat permulaan bukti tertulis adalah :
1.    Harus ada akta
2.    Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang diwakilinya
3.    Akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan
Untuk dapat menjadi bukti yang sempurna atau lengkap, maka permulaan bukti tertulis itu masih harus dilengkapi dengan alat-alat lain.

Fungsi akta :
1.    Fungsi formil (formalitas causa), yaitu untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, harus lah dibuat suatu akta.
Contoh perbuatan hukum yang disyaratkan adanya akta dibawah tangan : perjanjian hutang piutang denga bunga (Pasal 1767 BW), perjanjian pemborongan (Pasal 1610 BW), perdamaian (Pasal 1851 BW).
Contoh perbuatan hukum yang disyaratkan adanya akta otentik : pemberian hipotik (Pasal 1171 BW) schenking (Pasal 1682 BW), melakukan sumpah oleh orang lain (Pasal 1945 BW).

2.    Fungsi materiil/ fungsi sebagai alat bukti (probationis causa).


Mengenai Kekuatan Pembuktian Akta

Kekuatan pembuktian akta :
1.    Kekuatan pembuktian lahir
Yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2.    Kekuatan pembuktian formil
Yaitu yang memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

3.    Kekuatan pembuktian materiil
Yaitu yang memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.

Kekuatan pembuktian akta otentik :
1.    Kekuatan pembuktian lahir akta otentik
Sebagai berlakunya asas acta publica probant sese ipsa, bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya.

2.    Kekuatan pembuktian formil akta otentik
Yaitu membuktikan kebenaran mengenai apa yang dilihat, di dengar dan dilakukan pejabat, terutama tentang tanggal, tempat akta dibuat dan keaslian tanda tangan. Dalam akta pejabat (ambtelijk) tidak terdapat pernyataan dari para pihak, sehingga pejabatlah yang menerangkannya.

3.    Kekuatan pembuktian materiil akta otentik
Pada umumnya akta pejabat (ambtelijk) tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil. Akta pejabat yang memiliki kekuatan pembuktian materiil adalah akta yang dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil (Pasal 25 St. 1849 No. 25, 27, St. 1917 No. 130 jo. St. 1919 No. 81, 22, St. 1920 No. 751 jo. St. 1972 No. 564) yaitu yang tidak lain merupakan petikan atau salinan dari daftar aslinya, sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya harus dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan :
1.    Kekuatan pembuktian lahir akta dibawah tangan
Apabila tanda tangan telah diakui oleh yang bersangkutan, maka akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi bukti sempurna. Tapi dalam hal tanda tangan dipungkiri, maka hakim harus memerintahkan agar kebenaran akta itu di periksa (Pasal 3 St. 1867 No. 29, 290 Rbg, 1877 BW : acara pemeriksaan keaslian/echtheidsprocedure).
            Apabila seseorang yang menandatangani suatu surat perjanjian, dan kemudian menyatakan bahwa dirinya tertipu, menurut PT Bandung pernyataan tersebut tidak dapat dianggap secara sah (Putusan PT Bandung No. 290/1969/Perd/PTB, tanggal 15 Juli 1970.


2.    Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan
Apabila tanda tangan akta dibawah tangan telah diakui, berarti pernyataan di atas tanda tangan itu adalah pernyataan dari si penanda tangan.

3.    Kekuatan pembuktian materiil akta di bawah tangan
Yaitu keterangan di dalam akta di bawah tangan berlaku sebagai benar terhadap siapa yang membuatnya demi keuntungan orang untuk siapa pernyataan itu di buat.
Berdasarkan Pasal 1875 BW, 288 Rbg, akta dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu digunakan atau yang dapat dianggap diakui menurut Undang-Undang, bagi yang menandatangani, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik.

Surat-surat lain yang bukan akta :
*      Pasal 1881, 1883 BW, 294, 297 Rbg
Mengatur secara khusus beberapa surat-surat di bawah tangan yang bukan akta, yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya

*      PT. Bandung Np. 455/1969/Perd/PTB
Surat tanda bukti pengiriman barang untuk melaksanakan perjanjian jual beli barang, apabila barang yang tercantum di dalamnya tidak sesuai dengan catatan mengenai jumlah penerimaan barang-barang yang bersangkutan, tidak dianggap sebagai surat bukti.

*      Putusan MA No. 701 K/Sip/1974
Bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah darimana ternyata bahwa fotokopi-fotokopi tersebut dengan aslinya.


*      Kopi surat MA No. 39/TU/88/102/Pid, tgl 14 Januari 1988 kepada MenKeh
Bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP, dengan catatan bahwa sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat di telusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadap perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama.

Berdasarkan Pasal 301 Rbg, 1888 BW, bahwa salinan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan akta aslinya. Namun apabila akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (Pasal 302 Rbg, 1889 BW). Hal ini karena pada dasarnya kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya.

Berdasarkan Hoge Raad 25 Juni 1943, NJ 1943, menyatakan bahwa suatu tembusan surat yang di buat dengan kertas karbon berlaku sebagai aslinya, karena tembusan itu sama dengan surat yang di tulis pada halaman pertama dengan mana pensil atau pena itu langsung berhubungan.


PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI

Kesaksian adalah :
Kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di persidangan.

Saksi dipanggil dimuka sidang untuk memberi tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya, sedangkan seorang ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya. Mengenai alat bukti kesaksian, diatur dalam :
1.    HIR     : Pasal 139 – 152, 168 – 172
2.    Rbg     : Pasal 165 – 179
3.    BW      : Pasal 1902 – 1912

Berdasarkan asasnya bahwa setiap orang dapat bertindak sebagai saksi serta wajib memberi kesaksian (Pasal 139 HIR, 165 Rbg, 1909 BW). Tapi ada beberapa pengecualiannya yaitu :
1.    Orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi
a.    Mereka yang tidak mampu secara mutlak (absolut) :
*      Pasal 145 ayat (1) sub 1 HIR, 172 ayat (1) sub 1 Rbg, 1910 (1) BW
Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunanyang lurus dari salah satu pihak.

*      Pasal 145 ayat (2) HIR, 172 ayat (2) Rbg, 1920 (2) BW
Keluarga sedarah dan keluarga semenda tersebut tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara yang menyangkut kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam perkara yang menyangkut perjanjian kerja.

*       Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, 172 ayat (1) sub 3 Rbg, 1910 (1) BW
Suami atau isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai.

b.    Mereka yang tidak mampu secara nisbi (relatif), yaitu boleh didengar, tapi tidak sebagai saksi dan tidak perlu disumpah (Pasal 145 ayat (4) HIR, 173 Rbg) :
*      Pasal 145 ayat (1) sub 3 jo. Ayat (4) HIR, Pasal 1972 ayat (1) sub 4 jo. 173 Rbg, Pasal 1912 BW
Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun.

*      Pasal 145 ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 Rbg, Pasal 1912 BW
Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.

2.    Orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian : hak ingkar, verschoningsrecht (Pasal 146 HIR, 174 Rbg, 1909 alinea (2) BW)
a.    Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak
b.    Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari pada suami atau isteri salah satu pihak
c.    Semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukannya karena martabat, jabatan atau hubunga kerja yang sah.

Ada 3 kewajiban bagi seseorang yang dipanggil sebagai saksi, yaitu :
1.    Kewajiban untuk menghadap (Pasal 140, 141 HIR, Pasal 166, 167 Rbg)
2.    Kewajiban untuk bersumpah (Pasal 147 HIR, Pasal 175 Rbg, Pasal 1911 BW jo. 4 St. 1920 No.69).
Sumpah promissoir adalah sumpah yang diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi janji untuk menerangkan yang sebenarnya .
Sumpah confirmatoir adalah sumpah sebagai alat bukti.
3.    Kewajiban untuk memberi keterangan. Berdasarkan Putusan PN Cianjur No. 108/Pdt/1969, tanggal 27 Januari 1970, menyatakan bahwa hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukanoleh para pihak.

Mengenai Penilaian Alat Bukti Saksi

*      Pasal 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW
Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan-pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat-istiadat serta martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.

*      Pasal 171 ayat (1) HIR, 308 ayat (1) Rbg, 1907 BW
Dalam setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi. Keterangan saksi yang tidak disertai dengan sebab musababnya sampai ia dapat mengetahui tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna (Putusan MA No. 858 K/Sip/1971, tgl 27 Okt 1971).

*      Pasal 171 ayat (2) HIR, 308 ayat (2) Rbg, 1907 BW
Pendapat atau dugaan khusus yang timbul karena akal (ratio concludendi) tidak dianggap sebagai kesaksian. Keterangan saksi yang bukan merupakan pengetahuan dan pengalaman sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran persaksiannya (Putusan PT.Bandung No. 16/1969/Perd/PTB, tgl 20 Agustus 1969).

*      Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW
Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup (unus testis nullus testis). Oleh karena itu, gugatan harus di tolak kalau penggugat dalam mempertahankan dalilnya hanya mengajukan seorang saksi tanpa alat bukti lain (Putusan PT.Makasar No. 175/69/PT/Pdt, tgl 30 Nopember 1971).

*      Putusan PT.Bandung No. 465/1969/Perd/PTB, tgl 28 Januari 1971
Keterangan saksi-saksi yang jika dihubungkan satu sama lain, mempunyai arti dan maksud yang sama dapat menghasilkan bukti yang sah dan sempurna.

*      Hoge Raad 25 Nopember 1948, N.J. 1956
Keterangan saksi mengenai dua peristiwa yang berbeda bersama-sama merupakan bukti yang cukup.

*      Putusan MA No. 38 K/Sip/1954, tanggal 10 Januari 1957
Keterangan tertulis di bawah sumpah (affidavit) dari seseorang tidak dapat disamakan dengan keterangan saksi di muka hakim.

PERSANGKAAN

Persangkaan (vermoedens, presumptions) diatur dalam :
1.    HIR     : Pasal 164
2.    Rbg     : Pasal 284
3.    BW      : Pasal 1866

Persangkaan adalah :
Kesimpulan-kesimpulan yang oleh Undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 BW)

Oleh karena itu, ada 2 macam persangkaan :
1.    Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke / rechterlijke vermoedens, praesumptions facti)
2.    Persangkaan berdasarkan hukum/Undang-Undang (wettelijke / rechts vermoedens, praesumptiones juris) :
a.    Praesumptioes juris tantum yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
b.    Praesumptiones juris et de jure yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.

Berdasarkan Pasal 1916 BW, persangkaan berdasarkan Undang-Undang ialah persangkaan-persangkaan yang oleh Undang-Undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain :
1.    Perbuatan-perbuatan yang oleh Undang-Undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaannya saja dapat di duga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan Undang-Undang.
2.    Peristiwa-peristiwa yang menurut Undang-Undang dapat dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari hutang.
3.    Kekuatan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada putusan hakim
4.    Kekuatan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.
PENGAKUAN

Pengakuan diatur dalam :
1.    HIR     : Pasal 174, 175, 176
2.    Rbg     : Pasal 311, 312, 313
3.    BW      : 1923, 1928

Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan, oleh karena itu pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan.

Berdasarkan Pasal 1923 BW, pengakuan dibedakan menjadi :
1.    Pengakuan yang diberikan di muka hakim di pengadilan : gerechtelijke bekentenis (Pasal 174 HIR, 311 Rbg, 1925, 1926 BW)
Yaitu merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa.
Berdasarkan Pasal 1916 ayat (2) no. 4 BW, pengakuan merupakan alat bukti yang sempurna dan merupakan alat bukti yang bersifat menentukan. Oleh karena itu apabila tergugat mengakui tuntutan penggugat maka hakim harus mengabulkan tuntutan penggugat, pengakuan tergugat membebaskan tergugat untuk membuktikan lebih lanjut.
Berdasarkan Pasal 1926 BW, pengakuan di muka hakim di persidangan tidak dapat di tarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.

Pada dasarnya pengakuan harus diterima bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) Pasal 176 HIR, 313 Rbg, 1924 BW. Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3, yaitu :

a.    Pengakuan murni (aveu pur et-simple)
Pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.

b.    Pengakuan dengan kwalifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie)
Pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.

c.    Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe)
Pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan, misal clausulanya : pembayaran, pembebasan, kempensasi, dll. Dalam hal ini jawaban tergugat merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi disertai dengan tambahan penjelasan yang menjadi dasar penolakan gugatan.

Pembuktian pada dasarnya harus dibuktikan oleh penggugat, apabila penggugat berhasil membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar, maka pembuktian kebenarannya dibebankan kepada pihak tergugat.

Dalam hal tergugat mengajukan pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan maka penggugat dapat memilih :
a.    Menolak sama sekali pengakuan (onsplitsbare aveu) itu seluruhnya dan memberi pengakuan sendiri
b.    Membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar. Apabila penggugat berhasil membuktikannya, maka ia dapat minta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tergugat dari keterangan tambahan tergugat yang terbukti tidak benar itu, karena pemisahan itu, pengakuan tergugat menjadi pengakuan biasa yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan bersifat mengikat. Berdasarkan Pasal 176 HIR, Pasal 313 Rbg, Pasal 1924 BW bahwa hakim tidak boleh menolak permohonan penggugat tersebut.

2.    Pengakuan yang diberikan di luar persidangan (Pasal 175 HIR, 312 Rbg, 1927, 1928 BW
Adalah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata diluar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya.


SUMPAH

Sumpah diatur dalam :
1.    HIR     : Pasal 155 – 158, 177
2.    Rbg     : Pasal 182 – 185, 314
3.    BW      : Pasal 1929 – 1945

Berdasarkan HIR, ada 2 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu :
1.    Sumpah pelengkap (suppletoir) Pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW
Adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Dengan syarat ada pembuktian permulaan terlebih dahulu misalnya hanya ada seorang saksi (Putusan PT.Bandung No. 285/1969/Perd/PTB, tanggal 24 Juni 1971).
Sumpah suppletoir mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, oleh karena itu mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan.
Apabila sumpah itu palsu, dan putusan yang didasarkan atas sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, bagi pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu palsu (Pasal 385 Rv).

2.    Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed) Pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW
Yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.

3.    Sumpah pemutus (decisoir) Pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW
yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak (deferent) kepada lawannya (delaat) berkenaan dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketanya (litis decisoir).
Akibat mengucapkan sumpah decisoir ini ialah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu (Pasal 242 KUHP), sehingga merupakan bukti yang bersifat menentukan, yang berarti bahwa deferent harus dikalahkan tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lainnya (Pasal 177 HIR, Pasal 3124 Rbg, Pasal 1936 BW).


Mengenai Pemeriksaan Setempat (descente) Pasal 153 HIR

Adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran  atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa  yang menjadi sengketa.

            Berdasarkan Pasal 211 Rv, bahwa pemeriksaan setempat dapat diadakan berdasarkan putusan, baik atas permintaan para pihak maupun karena jabatannya.

            Oleh karena pemeriksaan setempat tidak termasuk alat bukti berdasarkan Pasal 164 HIR, tapi karena tujuan pemeriksaan setempat ialah agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti (Hoge Raad tgl 24 Januari 1873, W.3554.


Mengenai Keterangan Ahli (expertise) Pasal 154 HIR, 181 Rbg, 215 Rv

Adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri


PUTUSAN

Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) HIR, Pasal 196 ayat (1) Rbg, putusan dibagi menjadi :
1.    Putusan akhir
Yaitu putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.

Sifat putusan akhir :
a.    Yang bersifat menghukum (condemnatoir), yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (memberi, berbuat, tidak berbuat). Sehingga putusan tersebut memberi hak kepada penggugat untuk menjalankan putusan secara paksa (execution force) melalui pengadilan.

b.    Yang bersifat menciptakan (constitutif), yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (Pasal 1266, 1267 BW)

c.    Yang bersifat menerangkan (declaratoir), yaitu putusan yang bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan declaratoir.

2.    Bukan putusan akhir/putusan sela/putusan antara
Fungsinya untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) HIR, Pasal 196 ayat (1) Rbg, putusan sela harus diucapkan di dalam persidangan dan tidak dibuat secara terpisah, tapi ditulis dalam berita acara persidangan.

Selain itu, Pasal 48 Rv, juga membagi putusan :
1.    Putusan praeparatoir
Yaitu putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh : putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.

2.    Putusan interlocutoir
Yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, contoh : pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir.

Di dalam Pasal 332 Rv, membagi lagi putusan, yaitu :
1.    Putusan insidentil
Yaitu putusan yang berhubunga dengan insident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara. Contoh : putusan yang membolehkan pihak ketiga masuk dalam perkara (vrijwaring, voeging, tussenkomst).



2.    Putusan provisionil
Yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.


PELAKSANAAN PUTUSAN

Secara konkrit, bahwa pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi berarti menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang dikalahkan atau debitur dengan tujuan untuk memenuhi putusan guna kepentingan pihak yang dimenangkan atau kreditur. Untuk dapat menguangkan harta kekayaan debitur, maka harta kekayaan tersebut haruslah disita atau dibekukan lebih dulu, yang disebut dengan sita eksekutorial yaitu suatu penyitaan yang didasarkan atas titel eksekutorial.
Eksekusi suatu putusan perdata, dimulai dengan sita eksekutorial, kecuali apabila sebelumnya telah diadakan sita conservatoir, maka sita conservatoir itu setelah putusan dijatuhkan memperoleh titel eksekutorial dan oleh karena sita conservatoir itu di dalam putusan tersebut dinyatakan sah dan berharga, maka sita eksekutorial yang didasarkan atas titel eksekutorial tidak perlu dinyatakan sah dan berharga.
Sehubungan dengan itu, oleh karena sita conservatoir itu tujuannya adalah untuk menjamin terlaksananya putusan, maka fungsi pembekuan harta kekayaan debiturlah yang lebih penting, sedang pada sita eksekutorial fungsi penjualannya lah yang lebih penting.

*      Pelaksanaan putusan harus diminta oleh pihak yang bersangkutan dan tidak dapat dilaksanakan secara ex officio (Hoge Raad : 4 Nopember 1955, N.J.1956 dan Hoge Raad : 8 Oktober 1982, N.J. 1984, 58).

*      Pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata dilakukan panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 36 ayat (3) UU No. 4 tahun 2004, Pasal 195 ayat (1), 197 ayat (2) HIR, Pasal 206 ayat (1), 209 ayat (1) Rbg).

*      Untuk dapat dilaksanakannya putusan hakim secara paksa oleh PN, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua PN yang bersangkutan supaya putusan dilaksanakan, selanjutnya Ketua PN berdasarkan permohonan tersebut memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur atau memenuhi putusan dalam waktu 8 hari setelah teguran tersebut (Pasal 196 HIR, Pasal 207 Rbg). Apabila tidak juga di indahkan, maka Ketua PN karena jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan supaya disita barang-barang bergerak milik orang yang dikalahkan atau tidak ada barang bergerak disita barang tetap sebanyak jumlah nilai uang yang tersebut dalam putusan untuk menjalankan putusan (Pasal 197 ayat (1) HIR, Pasal 208 Rbg).

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan :
1.    Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, Pasal 208 Rbg).

2.    Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan (Pasal 225 HIR, Pasal 259 Rbg). Oleh karena orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan, maka pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.

3.    Eksekusi riil, adalah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap (Pasal 1033 Rv). Apabila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, maka hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara, agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya.

4.    Eksekusi langsung (parate executie), yaitu apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1115, 1175 ayat (2) BW).

1 komentar: